Oleh: Irwin Ananta Vidada, Dosen Prodi Manejemen UBSI
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dalam beberapa tahun terakhir, euforia di pasar saham kerap mendorong lonjakan aksi beli, terutama dari kalangan investor pemula. Sayangnya, banyak di antara mereka yang masuk pasar bukan karena didorong oleh analisis yang matang, melainkan rasa takut ketinggalan momentum.
Fenomena ini dikenal sebagai FOMO (Fear of Missing Out)—dorongan psikologis yang kerap menjadi awal dari keputusan investasi yang keliru. Saat harga saham melonjak dan linimasa media sosial dipenuhi cerita tentang cuan besar dalam waktu singkat, muncul dorongan kuat untuk ikut serta. Harapannya sederhana: memperoleh keuntungan serupa.
Namun realitas pasar tidak selalu sejalan dengan ekspektasi. Tak sedikit investor yang justru mengalami kerugian signifikan ketika harga saham mengalami koreksi tajam.
Fenomena FOMO menggambarkan pentingnya kendali emosi dan pemahaman akan risiko. Investasi yang sehat memerlukan fondasi berupa analisis, perencanaan, dan kesabaran. Tanpa itu, pasar bukan menjadi ladang peluang, melainkan jalan pintas menuju kerugian.
FOMO dan Perangkap Emosional dalam Investasi
Fenomena FOMO menjadi salah satu jebakan psikologis paling umum yang dialami investor, terutama mereka yang belum berpengalaman. Membeli saham karena terdorong FOMO berarti mengambil keputusan berdasarkan emosi, bukan atas dasar analisis dan logika yang rasional.
Kondisi ini umumnya muncul saat harga saham sudah mengalami kenaikan signifikan. Ketika mayoritas pelaku pasar mulai melirik suatu saham, sering kali harganya telah berada di titik jenuh. Di sinilah risiko membeli di harga puncak menjadi sangat tinggi, sementara potensi keuntungannya justru menurun.
Situasi serupa terjadi saat pandemi Covid-19 melanda. Kala itu, saham-saham sektor teknologi menjadi primadona dan menarik minat banyak investor ritel. Namun setelah euforia mereda, banyak saham di sektor ini mengalami koreksi tajam.
Mereka yang masuk di saat tren sudah berada di puncaknya pun harus menanggung kerugian yang tidak sedikit.
Investor legendaris asal AS, Warren Buffett pernah menyampaikan prinsip investasi yang kontras dengan arus mayoritas: "Be fearful when others are greedy, and be greedy when others are fearful."(Takutlah saat orang lain serakah, dan serakahlah saat orang lain takut.)
Pernyataan tersebut mencerminkan strategi contrarian—yakni mengambil sikap berlawanan dari mayoritas. Ketika pasar dipenuhi optimisme berlebihan atau kepanikan massal, justru di situlah dibutuhkan kewaspadaan dan kedewasaan dalam mengambil keputusan.
Investasi Saham: Ilmu dan Seni, Bukan Sekadar Insting
Masih banyak yang memandang investasi saham sebagai permainan intuisi belaka. Padahal, keputusan investasi yang bijak justru lahir dari kombinasi antara pengetahuan mendalam dan seni membaca peluang. Investasi bukan sekadar menebak arah pasar, melainkan proses rasional yang memerlukan analisis menyeluruh.
Sebelum membeli saham, investor perlu memperhatikan sejumlah aspek krusial. Reputasi manajemen dan struktur kepemilikan menjadi indikator awal. Perusahaan dengan manajemen kredibel dan berintegritas cenderung lebih menjanjikan ketimbang yang dikelola secara tidak transparan.
Pemahaman terhadap model bisnis dan prospek usaha juga penting. Produk dan jasa yang relevan serta memiliki potensi pertumbuhan berkelanjutan menandakan prospek jangka panjang yang solid, bukan sekadar mengikuti tren sesaat.
Tak kalah penting, laporan keuangan lima tahun terakhir memberi gambaran utuh tentang kondisi fundamental perusahaan. Dari sana, investor dapat menilai arah pertumbuhan, tantangan, dan kekuatan keuangan suatu emiten.
Jangan sampai berinvestasi tanpa memahami isi bisnisnya, bak membeli "kucing dalam karung". Stabilitas keuangan juga menjadi tolok ukur utama.
Perusahaan yang mampu membukukan laba secara konsisten, menjaga rasio utang sehat, dan rutin membagikan dividen menunjukkan daya tahan menghadapi gejolak pasar.
Sebagaimana diingatkan oleh investor senior Lo Kheng Hong, “Tuhan Maha Pengampun, tetapi bursa saham tidak mengenal ampun.” Dalam dunia investasi yang dinamis, bekal ilmu dan pemahaman menjadi perlindungan terbaik bagi setiap investor.
Valuasi Itu Penting: Jangan Bayar Mahal untuk Barang Biasa
Salah satu kesalahan paling umum yang kerap dilakukan investor, terutama yang terdorong oleh fenomena FOMO, adalah membeli saham berkualitas di harga yang terlalu tinggi.
Padahal, sekuat apa pun fundamental perusahaan, jika valuasinya tidak masuk akal, potensi kerugian tetap besar. Sebagai ilustrasi, bayangkan sebuah perusahaan mencetak laba bersih sebesar Rp1 triliun, namun memiliki kapitalisasi pasar hingga Rp 100 triliun. Ini berarti investor membayar 100 kali lipat dari keuntungan bersih perusahaan.
Angka ini mencerminkan valuasi yang sangat mahal dan secara umum mengandung risiko tinggi terhadap potensi koreksi harga. Warren Buffett pernah menekankan, “Lebih baik membeli perusahaan luar biasa di harga wajar, daripada perusahaan biasa di harga luar biasa.”
Prinsip ini menegaskan pentingnya mempertimbangkan nilai wajar sebelum berinvestasi. Investor dapat menggunakan indikator sederhana seperti rasio PBV di bawah 1 atau PER di bawah 9 sebagai panduan awal.
Meski demikian, valuasi yang lebih tinggi masih bisa diterima jika didukung prospek pertumbuhan dan keunggulan kompetitif jangka Panjang Dengan memahami pentingnya valuasi, investor dapat menghindari keputusan impulsif dan membangun portofolio yang sehat secara fundamental. Sebab dalam dunia investasi, harga yang dibayar menentukan tingkat margin of safety di masa depan.