Kamis 03 Jul 2025 08:17 WIB

Maxim Desak Pemerintah Kaji Ulang Rencana Kenaikan Tarif Ojol 15 Persen

Lonjakan tarif dinilai bisa ganggu ekosistem transportasi daring dan rugikan semua.

Rep: Eva Rianti/ Red: Gita Amanda
Maxim menyatakan kenaikan tarif ojol 8-15 persen berpotensi mengganggu ekosistem transportasi daring. (ilustrasi)
Foto: id.taximaxim.com
Maxim menyatakan kenaikan tarif ojol 8-15 persen berpotensi mengganggu ekosistem transportasi daring. (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Maxim, perusahaan aplikator transportasi daring, menanggapi rencana pemerintah yang akan menaikkan tarif ojek online (ojol) sebesar 8-15 persen. Menurut Maxim, rencana tersebut perlu dikaji ulang karena berpotensi mengganggu ekosistem transportasi daring.

“Kami melihat rencana kenaikan tarif pada layanan transportasi daring harus dikaji ulang secara komprehensif dengan melibatkan seluruh stakeholder, termasuk perusahaan penyedia layanan transportasi berbasis aplikasi dan masyarakat sebagai konsumen,” ujar Government Relation Specialist Maxim Indonesia, Muhammad Rafi Assagaf, dalam keterangan resmi, Rabu (2/7/2025).

Baca Juga

Rafi menyampaikan, dalam proses perencanaan regulasi baru mengenai kenaikan tarif, Kementerian Perhubungan secara aktif mengajak aplikator untuk terlibat dalam diskusi intensif. Para aplikator, kata dia, terlibat dalam menentukan formulasi kebijakan jangka panjang secara menyeluruh.

“Tentu saja, diskusi mengenai evaluasi dan pengkajian ulang kenaikan tarif masih terus berlangsung hingga saat ini untuk memastikan bahwa di masa mendatang kita memiliki kebijakan yang komprehensif dan berimbang dalam ekosistem transportasi daring,” ungkapnya.

Rafi berpandangan, rencana kenaikan tarif layanan transportasi daring berisiko kontraproduktif terhadap pertumbuhan ekosistem digital. Kenaikan tarif juga akan berdampak negatif bagi masyarakat, mitra pengemudi, dan industri e-hailing di Indonesia.

“Masyarakat sebagai pengguna akan menjadi pihak yang paling dirugikan, terutama bagi mereka yang menggantungkan layanan transportasi daring untuk kebutuhan sehari-hari, pekerjaan, dan aktivitas usaha,” terangnya.

Ia menilai, kenaikan tarif akan membuat masyarakat mengurangi pemesanan perjalanan dan cenderung enggan memesan layanan e-hailing untuk jarak dekat. Waktu penjemputan dan tingkat pembatalan pesanan juga diprediksi akan meningkat.

“Mitra pengemudi juga menjadi pihak yang dirugikan akibat kenaikan tarif. Hal ini dapat berdampak signifikan pada penurunan permintaan dan frekuensi penggunaan layanan. Dengan menurunnya jumlah orderan, pendapatan mitra pengemudi otomatis berkurang,” kata dia.

Rafi menambahkan, saat ini banyak masyarakat yang menggantungkan hidup sebagai mitra pengemudi. Jika orderan menurun akibat kenaikan tarif, mereka bisa kehilangan sumber penghasilan. Ia mencontohkan, kenaikan tarif yang pernah diterapkan di beberapa wilayah seperti Kalimantan Timur dan Sulawesi Selatan terbukti menurunkan jumlah pesanan dan pendapatan mitra pengemudi.

“Kenaikan tarif layanan transportasi on-demand berbasis aplikasi di Kalimantan Timur tahun lalu menunjukkan terjadinya peningkatan pembatalan pesanan dari pengemudi hingga 37 persen. Jika kebijakan serupa diterapkan secara nasional, kecenderungan ini bisa terulang,” ujarnya.

Kondisi serupa terjadi di Sulawesi Selatan setelah pemerintah daerah menaikkan tarif minimum transportasi daring.

“Pada 2022, Maxim terpaksa menaikkan tarif di Makassar dan Palopo, yang menyebabkan rata-rata biaya taksi daring naik hingga 65 persen. Dalam dua minggu pertama setelah kenaikan tarif, permintaan perjalanan langsung turun sebesar 50 persen. Lebih dari 30 persen konsumen berhenti menggunakan layanan taksi daring dan sekitar 20 persen mengurangi orderan,” jelasnya.

Maxim menilai, dalam menetapkan tarif transportasi daring, pemerintah perlu mempertimbangkan dampaknya terhadap ekosistem digital yang tengah berkembang.

Kenaikan tarif dinilai berpotensi mengganggu stabilitas industri e-hailing, terutama bagi aplikator sebagai Penyelenggara Sistem Elektronik. Ketidakseimbangan antara permintaan dan ketersediaan layanan akibat kenaikan tarif dinilai akan menyulitkan perusahaan untuk bertahan di Indonesia.

“Oleh karena itu, kami mendorong Kementerian Perhubungan untuk mengkaji ulang rencana kenaikan tarif ini dengan mempertimbangkan kebutuhan konsumen, keberlangsungan mitra pengemudi, serta menjaga keseimbangan permintaan dan penawaran di tengah situasi ekonomi yang belum sepenuhnya pulih,” ujarnya.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement