REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Perdagangan (Mendag) periode 2015—2016 Thomas Trikasih Lembong alias Tom Lembong menegaskan tidak menerima aliran dana dalam kasus dugaan korupsi impor gula di Kementerian Perdagangan pada tahun 2015—2016.
"Ini perlu saya tegaskan kembali pada saat ini yang disampaikan oleh Kejaksaan Agung (Kejagung) dalam pernyataannya kepada publik," ungkap Tom Lembong saat membacakan pleidoi alias nota pembelaan dalam sidang di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Rabu (9/7/2025).
Ia mengatakan, sejak awal pun Kejagung tidak pernah menuduhnya menerima apa-apa. Begitu pula dalam tuntutan, Kejagung juga tidak menuduh Tom Lembong menerima apa pun, dalam bentuk apa pun, dari siapa pun, dan kapan pun.
"Tidak sebelum saya menjabat, tidak pada saat saya menjabat, dan tidak setelah saya menjabat, sebagai Menteri Perdagangan Republik Indonesia," kata dia.
Dia menuturkan, penyidik Kejagung telah meminta para industri gula swasta nasional untuk menyetor dana tunai sebesar Rp565 miliar sebagai jaminan yang dapat disita apabila nantinya persidangan membuktikan kerugian negara sejumlah itu memang terjadi akibat tata kelola gula nasional pada kurun waktu 2015-2016.
Meski begitu, kata dia, Kejagung tidak meminta dirinya untuk melalukan penyetoran jaminan tunai, sehingga Tom Lembong menilai kerugian negara yang dituduhkan penyidik dan penuntut umum tidak ditujukan kepadanya, tetapi kepada industri gula swasta nasional.
Menurutnya, para industri gula swasta nasional itu membuat PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (Persero) atau PPI membayar harga terlalu mahal atas gula putih yang mereka jual kepada PT PPI dan membayar bea masuk dan pendapatan negara dalam rangka impor lainnya lebih rendah daripada seharusnya.
Dalam kasus korupsi importasi gula, Tom Lembong dituntut pidana penjara selama 7 tahun dan denda Rp750 juta dengan ketentuan apabila denda tidak dibayarkan maka akan diganti (subsider) dengan pidana kurungan selama 6 bulan.
Ia didakwa merugikan keuangan negara sebesar Rp578,1 miliar, antara lain, karena menerbitkan surat pengakuan impor atau persetujuan impor gula kristal mentah periode 2015—2016 kepada 10 perusahaan tanpa didasarkan rapat koordinasi antarkementerian serta tanpa disertai rekomendasi dari Kementerian Perindustrian.
Surat pengakuan impor atau persetujuan impor gula kristal mentah periode 2015—2016 kepada para pihak itu diduga diberikan untuk mengimpor gula kristal mentah guna diolah menjadi gula kristal putih. Padahal Tom Lembong dinilai mengetahui perusahaan tersebut tidak berhak mengolah gula kristal mentah menjadi gula kristal putih karena perusahaan tersebut merupakan perusahaan gula rafinasi.
Tom Lembong juga disebutkan tidak menunjuk perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) untuk pengendalian ketersediaan dan stabilisasi harga gula, tetapi menunjuk Induk Koperasi Kartika (Inkopkar), Induk Koperasi Kepolisian Negara Republik Indonesia (Inkoppol), Pusat Koperasi Kepolisian Republik Indonesia (Puskopol), serta Satuan Koperasi Kesejahteraan Pegawai (SKKP) TNI/Polri.
Atas perbuatannya, Tom Lembong terancam pidana yang diatur dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dan ditambah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.