Jumat 11 Jul 2025 05:54 WIB

Dua Alumnus dan Mahasiswa Universitas Mataram Gugat UU Pilkada ke MK

Mahasiswa Universitas Mataram dorong UU Pilkada yang penuhi suara rakyat.

Ilustrasi sidang Mahkamah Konstitusi (MK).
Foto: Republika/Prayogi
Ilustrasi sidang Mahkamah Konstitusi (MK).

REPUBLIKA.CO.ID, MATARAM -- Mahasiswa dan alumni Universitas Mataram, Nusa Tenggara Barat menggugat Undang-Undang Pilkada ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Dalam keterangan tertulis diterima di Mataram, Kamis, sidang pendahuluan perkara Nomor 104/PUU-XXIII/2025 Tentang Permohonan Pengujian Materiil Pasal 139 ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan Pasal 140 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota menjadi Undang-Undang terhadap Pasal 22E ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945.

Baca Juga

Permohonan di lakukan oleh dua orang alumnus dan mahasiswa FHISIP Universitas Mataram dari unit kegiatan Forum Mahasiswa Pengkaji Konstitusi (Formasi).

Para pemohon atas nama Yusron Ashalirrohman (Pemohon I), Roby Nurdiansyah (Pemohon II), Yudi Pratama Putra (Pemohon III), Muhammad Khairi Muslimin (Pemohon IV).

Sidang pendahuluan dihadiri secara luring oleh Pemohon I dan Pemohon II sedangkan Pemohon III dan Pemohon IV secara daring melalui zoom (daring).

Sidang di laksanakan di Lantai 4 Gedung 2 Mahkamah Konstitusi, dengan Majelis Panel Hakim Konstitusi 3 orang yakni, Ketua Majelis Panel Saldi Isra, Ridwan Mansyur, (Anggota Majelis Panel), dan Arsul Sani (Anggota Majelis Panel).

Sidang pendahuluan ini dilaksanakan dengan berjalan lancar, di akhir Hakim Panel MK memberi masukan dan saran dalam rangka penyempurnaan permohonan.

Dalam permohonan ini pemohon menguji tentang rekomendasi sebagai hasil kajian Bawaslu dalam penanganan pelanggaran administrasi Pilkada.

Menurut para pemohon rekomendasi memiliki sifat berbeda dengan putusan sebagai hasil kajian, perbedaan yakni rekomendasi tidak mengikat secara hukum, tidak memiliki kekuatan eksekutorial dan daya paksa, sehingga KPU sebagai rekomendasi seringkali tidak menjalankan isi dari rekomendasi Bawaslu.

Kemudian ini menjadi permasalahan dalam setiap Pilkada, mulai dari tahun 2018, 2020, dan 2024.

Berbeda dengan UU Pemilu yang memberikan kewenangan penuh kepada Bawaslu untuk memutus pelanggaran administrasi (Pasal 461 UU Pemilu), UU Pilkada justru mereduksi peran Bawaslu menjadi hanya pemberi rekomendasi.

Sementara keputusan akhir berada di tangan KPU. Perbedaan ekstrem ini jauh dari semangat putusan MK Nomor 48/PUU-XVII/2019 yang menyamakan kedudukan pengawas pemilu dan pilkada.

Kewenangan Bawaslu dalam pemilu seharusnya berlaku secara mutatis mutandis pada pilkada.

Para Pemohon berharap, MK sebagai 'the guardian of democracy dapat mengembalikan kewenangan Bawaslu dalam penanganan pelanggaran administrasi Pilkada sebagaimana mestinya, sehingga dapat menjamin kepastian hukum dan keadilan proses pemilihan kepala daerah ke depan.

sumber : Antara
BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement