REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — TikTok Indonesia meminta agar platform digital berbasis konten buatan pengguna atau user generated content (UGC) tidak diatur dalam regulasi yang sama dengan penyiaran konvensional dalam revisi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran (RUU Penyiaran). Hal itu bertujuan untuk menghindari ketidakpastian hukum.
“Tidak dalam regulasi yang sama dengan penyiaran konvensional,” kata Head of Public Policy and Government Relations TikTok Indonesia, Hilmi Adrianto, dalam rapat dengar pendapat umum (RDPU) Panitia Kerja (Panja) RUU Penyiaran Komisi I DPR RI bersama Google, YouTube, Meta, dan TikTok di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (15/7/2025).
Menurut dia, platform UGC sebaiknya tidak diatur dengan ketentuan yang berlaku untuk lembaga penyiaran konvensional demi menghindari ketidakpastian hukum.
“Kami merekomendasikan agar platform UGC tetap berada dalam kerangka moderasi yang saat ini sudah dijalankan di bawah pengawasan Kementerian Komunikasi dan Digital,” ujar Hilmi.
Ia juga menyatakan bahwa pendekatan regulasi tidak seharusnya menyamaratakan antara penyiaran konvensional, layanan over the top (OTT), dan platform UGC dalam satu produk undang-undang, karena ketiganya memiliki model bisnis dan kerangka tata kelola konten yang berbeda secara fundamental.
Di awal paparannya, Hilmi menjelaskan perbedaan signifikan antara platform UGC dan lembaga penyiaran tradisional. Dari sisi produksi dan pengendalian konten, menurut dia, konten di platform UGC seperti TikTok dibuat dan diunggah oleh pengguna individu maupun pelaku usaha.
"Sebaliknya, lembaga penyiaran tradisional maupun OTT menyediakan konten yang diproduksi atau diunggah langsung oleh pihak penyelenggara platform," katanya.
Dari sisi model bisnis dan partisipasi pengguna, lanjut Hilmi, platform UGC bergantung pada partisipasi aktif pengguna dan akses terbuka, termasuk bagi UMKM dan kreator. Sementara itu, penyiaran tradisional cenderung berfokus pada konsumsi pasif dan hanya dapat diakses oleh produsen konten profesional.