Jumat 18 Jul 2025 04:08 WIB

Jalan Ninja Gen Z yang Baperan: Jadi Kreator Konten Lebih Oke?

Gen Z yang gagal ratusan kali melamar kerja mulai melirik dunia konten sebagai jalan hidup.Tapi benarkah jadi kreator konten lebih menjanjikan daripada antre lamaran kerja? Ikuti opinbi Farida Indriastuti.

Rep: deutsche welle/ Red: deutsche welle
Channel Partners/Zoonar/picture alliance

Saat menyaksikan obrolan anak-anak muda Gen Z, "Ah, kapan sih 19 juta lowongan kerja yang dijanjikan Presiden Prabowo Subianto-Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka terealisasi?” Asa itu terus didengungkan di berbagai platform media sosial hingga ruang interaksi offline.

Bagi anak-anak muda dari kelas menengah ke bawah, mustahil mengikuti tagar #kaburduluaja ke luar negeri. Banyak dari mereka yang tidak mampu secara ekonomi dan pekerjaan pun sulit didapatkan, sedangkan gelombang PHK terus terjadi hingga April 2025. Bahkan ada yang melamar kerja hingga 100 kali tetap tidak lolos.

Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) mencatat ada 60 ribu buruh telah mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK) sepanjang Januari hingga awal Maret 2025. Angka PHK tersebar di berbagai wilayah Indonesia.

Peluang Gen Z mendapatkan pekerjaan baru semakin sulit. Lihat saja, video viral suasana pencari kerja di PT Let Solar Energi Indonesia di Batam, pada 19 April 2025. Para pelamar kerja sampai jatuh ke selokan akibat saling dorong dengan sesama pelamar kerja yang jumlahnya ribuan.

Mari tengok data Badan Pusat Statistik (BPS), terdapat hampr 10 juta atau 22,5 persen dari 44,5 juta penduduk Indonesia yang tergolong Gen Z, berusia 15-24 tahun yang lahir mulai 1997 sampai 2012, yang mengalami kesulitan mendapat pekerjaan maupun mengenyam pendidikan tinggi per Agustus 2023. Gen Z kerap mendapat stigma negatif, sebagai generasi yang dianggap pemalas di zaman ini.

Namun benarkah anggapan itu? GWI, sebuah lembaga market research internasional yang berpusat di London, Inggris mencatat, sebanyak 72 persen Gen Z sangat membatasi diri dalam urusan kehidupan dan pekerjaan, mereka menolak hustle culture, namun menganut the soft life, gaya hidup yang nyaman dan santai yang diidentikkan dengan kemalasan dan kurang mampu dalam bekerja tim di dunia kerja. 29 persen Gen Z mengaku dirinya sangat rentan mengalami kecemasan. Istilah anak muda zaman kini dibawa perasaan atau "baperan”.

Namun IDN Research Institute menunjukkan fakta sebaliknya, terutama yang terjadi di Indonesia: 67 persen Gen Z bersedia bekerja dan tidak keberatan dengan beban kerja tambahan seperti lembur, 64 persen Gen Z menganggap jenjang karier sangatlah penting, sehingga mereka dianggap sangat pemilih dalam pekerjaan— namun sayangnya tidak sesuai dengan ekspektasi, preferensi dan pandangan lain dalam dunia kerja seperti harapan Gen Z.

Pertimbangan Gen Z memilih pekerjaan dengan gaji baik, persentasenya tinggi yakni 80 persen. Faktor lainnya yang jadi pertimbangan dari Gen Z buat kerja di antaranya; Sesuai minat 60 persen, jam kerja leluasa 58 persen, lokasi kantor 53 persen, sesuai pendidikan 49 persen dan lingkungan kerja 47 persen.

Bahkan 36 persen Gen Z memilih bekerja secara work from home (WFH), 32 persen Gen Z bebas memilih bekerja di rumah atau kantor, sedangkan sisanya 33 persen memilih work from office (WFO).

Piawai dunia digital

Kemampuan Gen Z yang multitasking dan paham teknologi digital menjadi nilai plus bagi industri teknologi dan para perekrut tenaga kerja, Gen Z yang dilabeli sebagai generasi minim batasan memang memiliki keunikan. Gen Z yang cenderung pragmatis dan tumbuh setelah resesi besar, menjadi lebih condong mencari keamanan dan kesejahteraan.

Gen Z tentu lebih nyaman bekerja sendiri (mandiri), dibanding bekerja di ruang keramaian seperti kantor. Namun ironisnya, Gen Z yang gila gadget dan terpapar teknologi sejak kecil tidak memiliki kemampuan komunikasi intrapersonal yang baik di dunia kerja, apalagi dalam interaksi sosial.

Gen Z yang hidup dengan beragam perangkat teknologi digital seperti ponsel cerdas, tablet, laptop— tentu dapat menjadi pencipta, inovator, entrepreneur yang hebat. Sayangnya, tidak semua keistimewaan itu dimiliki Gen Z di Indonesia. Jika 22,5 persen Gen Z di Indonesia, justru pengangguran dan tidak memiliki pendidikan tinggi, bagaimana akan membuka peluang konektivitas dan keterlibatan dengan pihak lain?

Beberapa riset pasar menghasilkan analisis terkait Gen Z. Salah satunya bahwa 40 persen perusahaan menilai Gen Z tidak siap kerja karena masalah etos kerja yang buruk dan kemampuan komunikasi di bawah standar, seperti ditulis The Insider. Namun di sisi lain, Indonesia juga mengalami guncangan disrupsi yang besar. Era disrupsi terjadi ketika suatu inovasi baru masuk ke pasar dan menciptakan efek disrupsi yang sangat kuat, sehingga mengubah struktur pasar sebelumnya.

Fenomena efek ini sangat kuat di Indonesia karena populasi anak muda lebih banyak. Ketika teknologi informasi dan teknologi digital berkembang sangat cepat dan mengubah semua lanskap bisnis. Alhasil, pabrik sepatu, pabrik tekstil, pabrik elektronik, supermarket, pusat perbelanjaan modern hingga bisnis digital pun bangkrut. Kalah dengan pergerakan pasar digital yang melibatkan anak-anak muda yang menjadi digital marketing, content creator, affiliator, influencer dan lainnya.

Beberapa pabrik lainnya, memilih untuk mengalihkan pabriknya di negara-negara lain di kawasan ASEAN yang biaya produksinya dan upah buruhnya lebih murah dibanding Indonesia. Prediksi ke depan juga perlu diwaspadai dengan hilangnya beberapa pekerjaan yang digantikan oleh kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI) dan sistem robotik di berbagai sektor pekerjaan.

Gelombang PHK diperkirakan akan terus terjadi selama 2025 ini

Faktanya, PHK di berbagai manufaktur mencapai lebih 60 ribu orang. Menurut catatan Apindo Jawa Barat, setidaknya 22 perusahaan sektor padat karya di Jawa Barat telah tutup, karena berbagai faktor yang memberatkan. Itu baru Jawa Barat, belum terhitung di berbagai provinsi di seluruh Indonesia.

Tak ayal, jika Gen Z yang tumbuh di kelas menengah ke bawah ini terkena imbasnya, dengan semakin sempitnya peluang kerja bagi mereka, akibatnya mereka menyerbu lowongan yang ditawarkan oleh bisnis-bisnis kecil yang cuma membutuhkan segelintir pekerja, seperti warung seblak, toko kue, toko handphone dan lainnya. Bukan bisnis bermodal besar atau sekelas industri padat karya yang membutuhkan jumlah tenaga kerja yang besar.

Dunia kerja di Indonesia yang mengalami krisis dan tak terelakkan ini, korbannya tentu saja adalah Gen Z, meski mereka tergolong sebagai usia produktif. Namun ketersediaan lapangan kerja di berbagai sektor semakin menyempit di Indonesia.

Berbagai persoalan dari kesenjangan keterampilan kerja juga semakin menghimpit dan menghantui Gen Z. Untuk meningkatkan kapasitas diri dengan mengikuti kursus-kursus teknologi digital seperti; Data Science & Machine Learning, Data Analytics, Search Engine Optimization, UI/UX Design dan lainnya, memerlukan modal atau dana yang tidak sedikit (mahal).

Belum lagi, jika harus melanjutkan pendidikan ke jenjang lebih tinggi di universitas, biaya kuliah semakin mahal dengan kenaikan Uang Kuliah Tunggal (UKT) di berbagai universitas negeri yang dimiliki oleh pemerintah.

Terjengkang ekonomi pendukung

Selain dibutuhkan dana yang cukup, tentu dibutuhkan perangkat teknologi yang mendukung dengan spesifikasi yang memadai, seperti laptop dengan RAM 8GB Core i5 ke atas. Bagi Gen Z yang sebagian berasal dari kalangan ekonomi bawah, memiliki perangkat teknologi digital adalah keniscayaan, bahkan sebuah kemewahan yang tak terjangkau, baik oleh mereka ataupun para orang tua yang setiap bulannya menerima upah di bawah standar minimum.

Gen Z terjebak dalam situasi yang sangat pelik, dengan adanya kondisi krisis dunia kerja ini, namun sesungguhnya kondisi ini menjadi tanggung jawab pemerintah dan negara, jika ditinjau dari konsep kesejahteraan.

Pemerintah seharusnya bertanggung jawab dalam menyediakan lapangan kerja yang layak bagi rakyatnya, tanpa mendiskriminasi usia, gender, orientasi seksual, agama, etnis, status sosial, penampilan, tinggi badan, sehat jasmani/rohani dan lainnya. Seharusnya semua peluang kerja itu setara bagi semua angkatan kerja yang membutuhkan dan berfokus pada skill dan kompetensi si pelamar kerja.

Belum lagi, Gen Z dihadapkan pada pasar bebas tenaga kerja. Kompetisi tenaga kerja yang memiliki skill dan kompetensi yang mumpuni akan semakin ketat. Apalagi Indonesia menjadi tujuan banyak warga negara asing yang bekerja di bidang teknologi digital secara remote dan full-time. Sedangkan di sektor-sektor informal semakin menyempit, seiring berubahnya lanskap bisnis dan perkembangan teknologi digital yang tanpa batas. Nah mampukah Gen Z yang masih banyak ditopang ekonominya oleh orang tua bersaing dengan tenaga kerja terampil? Hanya Gen Z yang dapat menjawabnya tantangan zaman ini.

@faridaindria, penulis dan pewarta foto, gemar keliling Indonesia untuk meneliti dan mendokumentasikan beragam aspek kehidupan.

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.

*Luangkan menulis pendapat Anda atas opini dan turut berdiskusi di laman Facebook DW Indonesia. Terima kasih.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Disclaimer: Berita ini merupakan kerja sama Republika.co.id dengan deutsche welle. Hal yang terkait dengan tulisan, foto, grafis, video, dan keseluruhan isi berita menjadi tanggung jawab deutsche welle.
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement