REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA— "Mengapa kamu menyeberang jalan?" jika pertanyaan ini, misalnya, kita lontarkan ke seekor jawab, maka sudah bisa terbayang jawaban tradisionalnya adalah jawaban sarkastik. "Untuk mencapai seberang. "
Namun, ketika kita memindahkan pertanyaan ini ke dalam konteks Israel, pertanyaan ini berubah dari sebuah lelucon menjadi sebuah proyek politik dan ideologis yang memiliki dimensi filosofis, historis, dan teologis.
Dalam pikiran Israel, tidak ada penyeberangan yang sewenang-wenang, tidak ada sisi lain yang didefinisikan dengan jelas, tetapi sebuah peta yang terus berubah yang direkayasa ulang dengan kekuatan, retorika politik, dan kepura-puraan moral.
Jalan yang dimaksud di sini bukanlah jalan fisik, melainkan simbol hegemoni, kedaulatan, dan pembentukan kembali realitas sesuai dengan visi Zionis yang berakar pada rasa hak historis dan keamanan.
Artikel ini menggali lebih dalam tentang penyeberangan ini, menelusuri motif politiknya, dimensi militer dan pemukimannya, serta dampaknya terhadap warga Palestina, yang direduksi menjadi sekadar penghalang dalam proyek ini.
Filosofi jalan, transit sebagai cetak biru hegemonik
Pada dasarnya, Israel bukanlah sebuah negara yang berusaha untuk stabil di dalam batas-batas wilayah yang tetap, melainkan sebuah entitas yang hidup dalam kondisi transit yang terus menerus, dengan gagasan untuk membentuk kembali realitas geografis dan simbolis.
BACA JUGA: Media Ungkap Ali Khamenei akan Lakukan Serangan Balasan Mendadak ke Israel
Pikiran orang Israel, seperti yang terungkap dalam teks-teks Ibrani dan kebijakan para pemimpinnya, tidak melihat stabilitas sebagai sebuah kebajikan, melainkan ekspansi d
View this post on Instagram
an dominasi.
Jalan, dalam konteks ini, bukan hanya tanah atau perbatasan, melainkan sebuah ruang untuk memaksakan kedaulatan melalui pemukiman, operasi militer, atau menulis ulang narasi media.