Senin 28 Jul 2025 16:06 WIB

Fenomena Rojali dan Rohana Bikin Pusat Perbelanjaan Merana, Ini Penyebabnya

Fenomena rojali dan rohana sudah mulai muncul sejak kehadiran belanja online.

Rep: Muhammad Nursyamsyi/ Red: Friska Yolandha
Pengunjung memilah pakaian di Little Bangkok Pasar Metro Tanah Abang, Jakarta, Kamis (30/5/2024). Hippindo menyebut tren rojali dan rohana sudah ada sejak pandemi.
Foto: Republika/Thoudy Badai
Pengunjung memilah pakaian di Little Bangkok Pasar Metro Tanah Abang, Jakarta, Kamis (30/5/2024). Hippindo menyebut tren rojali dan rohana sudah ada sejak pandemi.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Umum Himpunan Peretail dan Penyewa Pusat Perbelanjaan Indonesia (Hippindo) Budihardjo Iduansjah mengatakan fenomena Rombongan Jarang Beli (Rojali) dan Rombongan Hanya Nanya (Rohana) bukan lah hal baru di dunia ritel. Budihardjo menyebut fenomena ini sudah mulai muncul sejak kehadiran belanja online dan semakin masif ketika pandemi Covid-19 memaksa masyarakat beralih ke platform daring. 

"Fenomena Rojali dan Rohana itu memang sudah terjadi sejak ada jualan online dan semakin marak sejak pandemi Covid-19. Timbulah cara kebiasaan belanja itu berubah," ujar Budihardjo saat dihubungi Republika di Jakarta, Senin (28/7/2025).

Baca Juga

Budihardjo menyampaikan perubahan gaya belanja masyarakat yang lebih senang membandingkan harga membuat banyak pengunjung mal hanya sekadar melihat-lihat tanpa membeli. Pengunjung umumnya menyentuh barang, mencoba ukuran, hingga menanyakan harga sebelum akhirnya membeli barang tersebut secara daring dengan harga lebih murah. 

"Mereka banyak datang ke mal, lihat-lihat, nanya harga, pegang-pegang mungkin cocok, lalu mereka cari di online harganya berapa," ucap Budihardjo. 

Budihardjo menilai salah satu penyebab utama maraknya Rojali adalah adanya ketimpangan harga antara toko di mal dan toko daring. Di toko fisik, pengusaha harus membayar berbagai beban pajak dan operasional yang tinggi, termasuk PPN 11 persen dan PPh Badan 25 persen. 

"Dikarenakan saat ini di Indonesia ada ketimpangan harga antara yang di mal yang harus bayar pajak PPN 11 persen, bayar PPH badan 25," lanjut Budihardjo. 

Menurut Budihardjo, masyarakat saat ini cenderung membandingkan harga dari barang yang dijual di pusat perbelanjaan dengan yang tersedia di marketplace. Budihardjo mengatakan perbedaan harga yang cukup signifikan mendorong konsumen lebih memilih belanja daring karena lebih murah dan praktis.

Meskipun Hippindo juga memiliki saluran penjualan online melalui marketplace dan toko daring sendiri, Budihardjo mengatakan, beban regulasi tetap membuat harga produk lebih tinggi dibandingkan seller yang tidak memiliki toko fisik. Budihardjo menyampaikan penjual online tanpa toko fisik tidak dibebani sewa ataupun pajak, sehingga mampu menawarkan harga jauh lebih kompetitif. 

"Jadi yang terjadi mungkin timbul perbedaan harga dengan seller-seller yang enggak punya toko di mal," ungkap Budihardjo.

 

Budihardjo menilai perbedaan perlakuan regulasi inilah yang menyebabkan ketimpangan persaingan antara peritel di pusat perbelanjaan dengan pedagang daring. Hippindo tetap tunduk pada aturan pajak dan regulasi meski ingin menjual dengan harga murah. 

 

"Kami juga bisa saja jual murah namun kami harus memenuhi aturan pajak," sambung dia. 

 

Budihardjo menambahkan peritel di mal juga menghadapi keterbatasan dalam memasok barang impor karena harus memenuhi berbagai regulasi pemerintah. Di antaranya adalah kuota impor, neraca komoditas, sertifikasi SNI, serta persyaratan dari BPOM untuk produk tertentu. 

 

Sebaliknya, lanjut dia, penjual online seringkali tidak terlihat mengikuti prosedur impor yang sama, sehingga barang ilegal atau tanpa izin pun bisa beredar dengan mudah. Hal ini menurutnya memperparah kondisi kompetisi yang sudah tidak sehat antara toko fisik dan seller daring. 

 

"Sedangkan seller di online itu enggak tahu caranya bagaimana (produk impor) bisa masuk begitu saja," ujar Budihardjo. 

 

Untuk menciptakan keadilan, sambung Budihardjo, Hippindo telah memperjuangkan penerapan pajak penghasilan Pasal 22 sebesar 0,5 persen terhadap pedagang online di marketplace. Namun kebijakan tersebut justru mendapat penolakan dari masyarakat yang salah paham dengan tujuannya. 

 

"Itu pun banyak banget suara negatif seakan-akan pemerintah membebani pajak, padahal itu kami yang minta," ungkap Budihardjo.

 

Budihardjo mengingatkan jika penjual online terus dibiarkan tanpa pengenaan pajak yang adil, maka pusat perbelanjaan berpotensi kehilangan seluruh konsumennya. Menurutnya, kondisi ini dapat menyebabkan penutupan toko-toko ritel secara masif jika tidak segera diatasi. 

 

"Kalau mereka enggak kena pajak, kami yang di mal kena pajak, kami Rojali semua, tidak ada yang beli, kita akan tutup juga nanti," ucap Budihardjo. 

 

Budihardjo juga menyampaikan pesan kepada masyarakat bahwa setiap transaksi dagang seharusnya ikut berkontribusi dalam membayar pajak demi keadilan sistem. Dia menekankan peritel di pusat perbelanjaan turut membantu negara dalam memungut pajak dari aktivitas ekonomi yang resmi.

 

Budihardjo menyebut persaingan tidak adil ini membuat pusat perbelanjaan kehilangan daya saing terhadap seller online yang bisa menjual barang ilegal atau tanpa regulasi ketat. Barang yang dijual di toko-toko daring juga lebih lengkap karena tidak dibatasi aturan distribusi resmi. 

 

"Playing field-nya enggak adil. Di online-nya bebas pajak, bebas semuanya. Lengkap lagi barangnya," lanjut Budihardjo.

 

Budihardjo menyampaikan fenomena Rojali dan Rohana juga mulai berdampak langsung terhadap omset para peritel di pusat perbelanjaan. Ia menyebut sektor fesyen dan sepatu mengalami penurunan penjualan hingga 10 persen akibat pergeseran belanja ke platform daring. 

 

Meski demikian, Budihardjo mengakui mal masih memiliki daya tarik tersendiri karena masyarakat tetap datang untuk aktivitas lain seperti makan dan menonton bioskop. Namun aktivitas konsumtif di luar belanja tetap belum cukup menyelamatkan penjualan ritel. 

 

"Untungnya mereka masih makan, masih ramai nonton bioskop. Tapi belanjanya tambah sepi," sambung dia. 

 

Untuk menghadapi situasi ini, Hippindo tidak tinggal diam dan terus menggelar berbagai strategi agar pengunjung tetap datang ke pusat perbelanjaan. Beberapa upaya yang dilakukan termasuk program diskon, penyelenggaraan event musik, hingga pameran untuk menarik minat publik. 

 

"Kami melakukan berbagai program, diskon, event-event musik, pameran di mal supaya orang tetap datang ke mal," ungkapnya. 

 

Selain menggaet pasar lokal, ucap dia, Hippindo juga berupaya menarik wisatawan asing untuk berbelanja di Indonesia melalui program Belanja di Indonesia Aja atau BINA. Dalam program ini, wisatawan mancanegara dapat memperoleh pengembalian PPN sebesar 11 persen dengan menunjukkan paspor. 

 

Budihardjo juga mendorong inisiatif pengembangan pasar malam atau night market di kota-kota besar sebagai destinasi belanja dan rekreasi bagi wisatawan mancanegara. Budihardjo berharap langkah ini dapat menghidupkan kembali pusat perbelanjaan dan mendorong pertumbuhan ekonomi sektor ritel. 

 

"Kita ingin di kota-kota besar itu ada night market, sehingga turis datang ke Indonesia belanja," kata Budihardjo.

 

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement