Jumat 01 Aug 2025 14:45 WIB

Pemerhati Anak: Pendidikan Utama Siswa Harus Dimulai dari Lingkungan Keluarga

Dalam pendidikan anak, sekolah merupakan mitra bagi orang tua.

Dosen Fakultas Psikologi, Universitas Pancasila, Maharani Ardi Putri
Foto: dokpri
Dosen Fakultas Psikologi, Universitas Pancasila, Maharani Ardi Putri

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA --  Dosen di Fakultas Psikologi, Universitas Pancasila, Maharani Ardi Putri, menekankan bahwa pendidikan utama anak dimulai di lingkungan keluarga. Orang tua diminta untuk aktif memantau dan memvalidasi apa yang dipelajari anak di sekolah. Ia menyarankan agar orang tua mengajak anak berdialog tentang materi pelajaran, bukan sekadar menerima begitu saja pembelajaran dari sekolah. 

Dalam pendidikan anak, sekolah memang sebagai mitra bagi orang tua, tetapi tanggung jawab utama pembentukan anak tetap di tangan orang tua. Bila ditemukan materi yang meragukan, orang tua diwajibkan berkomunikasi langsung dengan pihak sekolah untuk klarifikasi. 

Maharani juga menekankan pembentukan kemampuan berpikir kritis pada anak sebagai benteng ampuh melawan hoaks dan paham ekstrem. Daripada hanya menanamkan dogma, pendidik harus mengajarkan anak untuk bertanya, menganalisis, dan mengkritik. 

“Apabila anak kita mendapati materi pembelajaran dari sekolahnya yang sekilas terlihat agamis namun sebenarnya mendiskreditkan pihak ataupun golongan tertentu, orang tua perlu hadir sebagai teman dialog bagi anak. Sebagai orang tua yang bertanggung jawab bagi anaknya, dialog yang sehat akan lebih efektif dalam membentengi anak dari pemikiran intoleransi, ketimbang orang tua hanya melarang secara sepihak saja," kata Maharani dalam siaran pers, Jumat (1/8/2025).

Dirinya juga bicara soal kemudahan penyebaran paham ekstremisme melalui media sosial. Ekosistem pendidikan, sekolah dan keluarga, harus bersinergi untuk menghadapi tantangan ini. Sekolah menyediakan kerangka nilai dan literasi kritis, sedangkan keluarga memberikan teladan nyata dalam kehidupan sehari‑hari. Dengan demikian, anak mendapatkan dua lapis perlindungan, yaitu materi pembelajaran yang moderat serta suasana rumah yang menghargai keberagaman. 

Maharani ini pun mengingatkan kembali bahwa ekstremisme dan terorisme tumbuh subur jika ruang dialog dan pengawasan bersama terhadap anak lemah. 

“Melalui seleksi guru yang bertanggung jawab, pengawasan kurikulum, pendampingan orang tua, dan pembiasaan berpikir kritis, paham-paham berbahaya dapat dicegah sejak dini. Pendidikan, baik formal maupun informal, harus direvitalisasi sebagai pilar persatuan yang kokoh di tengah pluralitas Indonesia," kata Maharani.

Ia pun mengatakan bahwa pringatan Hari Anak Nasional selayaknya menjadi pengingat bagi semua bahwa anak-anak sebagai generasi penerus bangsa belum seutuhnya bebas dari ancaman terorisme. Pemahaman akan pentingnya kebinekaan harus ditanamkan sejak dini pada anak-anak untuk melindungi mereka dari pemikiran yang segregatif.

Ia menjelaskan bahwa sebenarnya baik sekolah umum maupun sekolah berbasis agama sama‑sama merupakan pilihan yang sah bagi orang tua. Kurikulum di sekolah agama memang dirancang menyesuaikan ajaran kepercayaan masing‑masing, sementara sekolah umum bersifat inklusif tanpa memusatkan pada satu agama tertentu. 

 

 

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement