Selasa 24 Nov 2015 20:09 WIB

Bangladesh Pertahankan Larangan Facebook dan Aplikasi Obrolan

Tampak seorang pria sedang mengakses laman sosial media, Facebook.
Foto: EPA
Tampak seorang pria sedang mengakses laman sosial media, Facebook.

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Pihak berwajib Bangladesh, Selasa, bersikeras mempertahankan larangan bagi Facebook dan layanan pesan lewat telepon saku, yang telah berjalan sepekan, hingga keamanan di negara tersebut membaik.

Pemerintah pada Rabu memerintahkan penutupan Facebook, WhatsApp dan Viber karena khawatir terjadi kerusuhan, setelah mahkamah tertinggi negara tersebut menolak banding dua pemimpin oposisi terhadap hukuman mati, yang dijatuhkan atas kejahatan perang mereka.

Badan pengatur telekomunikasi mengatakan larangan itu akan tetap diberlakukan hingga kedua pemimpin itu digantung pada Ahad pagi, sehingga memunculkan seruan dilakukannya mogok nasional dan memicu kekhawatiran terjadinya kekerasan dari para pendukung mereka.

"Layanan itu akan dibuka kembali jika pemerintah merasa sudah aman," kata Shahjahan Mahmud, kepala Komisi Pengatur Telekomunikasi Bangladesh kepada AFP.

Juru bicara komisi Zakir Hossain Khan menolak spekulasi media bahwa larangan itu akan dicabut Selasa malam.

Pengamat mengatakan larangan itu bertujuan menghentikan partai oposisi menggalang unjuk rasa menjelang pelaksanaan hukuman mati, di tengah kemarahan atas yang disebut kelompok hak asasi manusia sebagai persidangan kejahatan perang "cacat dan tidak adil".

Komisi pengatur itu juga melarang sementara layanan pesan Viber dan Tango pada Januari, setelah keduanya menjadi jalan populer untuk memobilisasi sejumlah besar pegiat untuk menggelar aksi anti-pemerintah.

Bangladesh menjatuhkan hukuman gantung terhadap Ali Ahsan Mohammad Mujahid yang berasal dari partai Islam terbesar Jamaat-e-Islami, dan Salahuddin Quader Chowdhury, pembantu utama pemimpin oposisi Khaleda Zia, setelah mereka didakwa melakukan kejahatan selama perang pada 1971 melawan Pakistan.

Dakwaan serupa pada 2013 memantik kekerasan paling berdarah di negara itu sejak kemerdekaan, dengan 500 orang tewas --kebanyakan dalam bentrokan antara pegiat Jamaat dan polisi.

Unjuk rasa yang digelar pekan ini pada umumnya dilakukan secara damai. Namun dua pelajar dipukuli hingga tewas pada Selasa di kota Jessore di wilayah barat, kata kepala polisi kepada AFP, dan Jamaat menuding anggota Liga Awami yang berkuasalah yang melakukannya.

Rakyat Bangladesh mengecam larangan Twitter, dan mengatakan bahwa tindakan itu mengekang kebebasan berpendapat dan semakin memicu kemarahan terhadap pemerintah.

Industri dalam jaringan Bangladesh yang berkembang pesat mengatakan larangan itu telah memukul usaha mereka, dan beberapa dilaporkan mengalami penurunan penjualan.

sumber : antara
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement