REPUBLIKA.CO.ID, BOGOR -- Beberapa waktu lalu, dunia pendidikan kembali digemparkan dengan mencuatnya isu terjadinya penurunan kualitas kemampuan bernalar matematika anak-anak Indonesia. Faktor penurunan kecakapan bernalar tersebut diduga memiliki kaitan yang erat dengan diterapkannya soal berjenis HOTS (Higher Order Thinking Skills) dalam sistem evaluasi pembelajaran matematika di kalangan pelajar SD hingga SMA.
Staf pengajar Klinik Pendidikan Mipa (KPM) Muchammad Fachri mengatakan sejatinya, soal jenis HOTS tersebut dirancang sebagai pijakan agar pelajar Indonesia (generasi muda) mampu cakap berpikir di era pendidikan abad 21. Era pendidikan abad 21 menuntut lembaga pendidikan untuk mengubah pendekatan pembelajaran yang berpusat pada pendidik, menjadi berpusat pada peserta didik. Hal tersebut dilakukan agar para generasi muda terlatih kecakapan berpikir kritis dan kreatifnya.
Muchammad Fachri mengatakan lemahnya kecakapan nalar tersebut mencerminkan kondisi dunia pendidikan saat ini. Hal tersebut diperkuat dengan hasil data Uji Soal MNR (Matematika Nalaria Realistik) yang telah dilakukan KPM periode September-Oktober 2018 lalu.
Uji Soal MNR merupakan event tahunan yang digelar Klinik Pendidikan MIPA (KPM) guna mengukur kemampuan peserta didik terhadap bidang matematika. Kegiatan yang sukses diikuti sebanyak 352.088 peserta dari berbagai wilayah Indonesia ini menjadi pilihan menarik bagi insan pendidikan karena dinilai sangat membantu pada perkembangan proses belajar matematika siswa.
Fachri mengungkapkan data yang telah dihimpun tim KPM, sebagian besar pelajar Indonesia masih sangat minim kemampuan bermatematikanya. Khususnya dalam bidang geometri dan pemecahan masalah.
“Ketika sudah berbicara lemahnya pemecahan masalah, sebuah pekerjaan rumah yang tak sederhana. Artinya, jika ada siswa yang tak memahami soal berjenis ini, berarti ada persoalan dalam berpikir nalarnya,” kata Fachri.
“Jika diamati, memang banyak faktor yang menyebabkan menurunnya kemampuan bernalar siswa. Beberapa sekolah masih menerapkan sistem belajar matematika yang bersifat hafalan rumus, hitung cepat, dan jarang dihadirkannya latihan soal yang memiliki karakteristik bernalar, sehingga pelajar pun kurang mendapat pengalaman mengerjakan soal-soal yang dapat menstimulus nalar seperti yang diterapkan KPM lewat metode MNR,” kata Fachri.