REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Gaya hidup yang semakin melibatkan smartphone ternyata rentan terhadap serangan cyber crime. Hal tersebut dikemukakan petinggi perusahaan software asal Jepang Trend Micro dalam suatu media briefing di Jakarta, Kamis (19/9).
"Penggunaan smartphone mulai dari mobile gaming, media sosial hingga mobile banking, sangat berpotensi dan rentan terhadap serangan cyber crime tersebut," kata Direktur Senior Trend Micro Region Asia Pasifik, Terrence Tang. Menurut Terrence, akan ada kurang lebih sepuluh miliar telepon genggam di tahun 2020.
Pertumbuhan tinggi tersebut terutama terjadi di Indonesia, Thailand dan India. "Indonesia termasuk yang paling rawan karena pertumbuhannya cukup tinggi," katanya.
Terrence mengungkapkan beberapa kejahatan dunia maya tersebut antara lain malicious advertising malware dan premium service abuser. Malicious adware atau iklan malware menipu korban dengan menawarkan sebuah barang dengan harga murah.
Ketika tertarik, maka korban akan membeli dan kemudian mengirimkan uangnya, namun barang tidak kunjung datang.
Sementara itu, premium service abuser merupakan kejahatan yang menggunakan kedok aplikasi palsu.
"Pengguna sering terjebak aplikasi palsu karena malas membaca informasi yang ada di aplikasi," katanya.
Saat ini, penjahat cyber mulai mengalihkan sasaran kepada pengunduhan aplikasi game, yang sering dilakukan seenaknya oleh pengguna smartphone. Aplikasi palsu tersebut biasanya mengarahkan ke situs phising yang memungkinkan pelaku kejahatan untuk mencuri informasi pribadi korban.
Informasi personal yang dicuri itu, kata Terrence, akan dijual ke apa yang disebut dengan "pasar gelap informasi personal" dan diperjualbelikan untuk kemudian disalahgunakan. "Itulah yang memungkinkan adanya kiriman spam di email seseorang, atau telepon dari nomor yang tidak dikenal," katanya.
Sebanyak 44 persen di antara para pengguna smartphone di seluruh dunia tidak mengecek aplikasi yang mereka unduh, sehingga rawan terkena cyber crime.