REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Perkembangan bisnis e-commerce di Indonesia lima tahun terakhir sangat menjanjikan.
Hasil riset yang diprakarsai oleh Asosiasi E-commerce Indonesia (idEA), Google Indonesia, dan TNS (Taylor Nelson Sofres) memperlihatkan bahwa tahun 2013, nilai pasar e-commerce Indonesia mencapai 8 miliar dolar AS atau setara Rp 94,5 triliun dan di tahun 2016 diprediksi naik tiga kali lipat menjadi 25 miliar dolar AS atau sebesar Rp 295 triliun.
Kondisi ini tidak bisa kita elakkan. Orang-orang dari luar Indonesia akan berduyun-duyun datang ke Indonesia. Tujuan mereka cuma satu, menguasai pasar Indonesia. Mau tidak mau, kita harus berbenah agar mampu menjadi tuan di rumah sendiri,” ujar Co-Founder and CFO Bukalapak.com Fajrin Rasyid, Senin (27/4).
Potensi ini dibarengi dengan jumlah pengguna internet yang mencapai angka 82 juta orang atau sekitar 30% dari total penduduk di Indonesia.
Salah satu langkah untuk berbenah, kata Fajrin, dengan memaksimalkan potensi bisnis e-commerce yang telah terbukti pertumbuhannya terus meningkat.
Apalagi, jual beli online ini hanya butuh modal kecil namun hasilnya sungguh luar biasa (low cost high impact).
“Di era seperti sekarang ini, semua orang bisa sukses menjadi online seller,” ujarnya.
Meski demikian, Fajrin mengingatkan calon pelapak atau penjual online agar mempelajari secara detil media e-commerce-nya. Pasalnya, selama ini dikenal dua kategori dalam e-commerce, yakni Classified Media dan Transaction Platform.
Untuk yang terakhir, dikenal adanya konsep C2C (personal), lalu small B2C, B2B2C, dan terakhir B2C.
“Bukalapak merupakan marketplace (C2C) yang melibatkan pelapak dan pembeli secara langsung,” ujarnya.
Di sisi lain, Fajrin menyarankan agar mereka yang ingin mengelola perusahaan e-commerce segera memulai usahanya dan tidak menunda lagi.