Senin 28 Aug 2017 12:50 WIB

Kuartal Kedua, Serangan Siber Meningkat

Rep: Rizkyan Adiyudha/ Red: Winda Destiana Putri
Ancaman serangan siber kini semakin nyata
Foto: ABC
Ancaman serangan siber kini semakin nyata

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Serangan Siber pada kuartal kedua tahun ini meningkat. Kenaikan terjadi hingga 131 persen dibandingkan dengan kuartal pertama 2017. Serangan lebih mengincar kantor berita hingga aplikasi perpesanan populer.

Berdasarkan laporan botnet DDoS dari para ahli Kaspersky Lab, sebuah perusahaan keamanan siber, organisasi berbasis online yang berada di 86 negara menjadi target pada kuartal kedua. Angka itu naik dari 72 negara pada kuratal pertama.

China, Korea Selatan, Amerika Serikat, Hong Kong, Inggris, Rusia, Italia, Belanda, Kanada, Prancis dan Belanda merupakan negara yang terkena dampak terparah. Mereka menggantikan Vietnam dan Denmark yang merupakan salah satu sasaran utama pada kuarta satu.

"Jumlah perangkat terkoneksi berjumlah ratusan juta dan segera bertambah menjadi miliaran. Tidak semua dari perangkat dilindungi dengan baik, jadi mereka cenderung menjadi kaki tangan dari beberapa botnet," kata General Manager South East Asia Lab Kaspersky, Sylvia Ng dalam keterangan resmi, Senin (28/8).

Adapun target serangan DDoS diantaranya kantor berita Al Jazeera, situs berita dari harian Le Monde dan Figaro bahkan kabarnya server Skype. Pada kuartal kedua 2017, peningkatan mata uang crypto juga menyebabkan pelaku kejahatan siber mencoba memanipulasi harga melalui serangan DDoS.

Bitfinex, bursa perdagangan Bitcoin terbesar, diserang bersamaan dengan peluncuran dari perdagangan mata uang crypto terbaru yang disebut IOTA token. Sebelumnya, agensi penukaran BTC-E melaporkan adanya perlambatan karena serangan DDoS yang kuat.

Ketertarikan pelaku serangan DDoS untuk mendapatkan uang bahkan membuat mereka melakukan manipulasi nilai tukar mata uang crypto. Penggunaan jenis serangan ini demi mendapatkan uang sangat menguntungkan seperti yang terlihat dari tren Ransom DDoS atau RDoS.

Penjahat siber biasanya mengirim pesan kepada korban dan menuntut uang tebusan yang berkisar antara 5 sampai 200 bitcoin. Jika perusahaan menolak membayar, penyerang mengancam untuk melakukan serangan DDoS pada basis online milik korban yang sangat penting.

Pesan tersebut bisa disertai serangan DDoS jangka pendek untuk mengkonfirmasi bahwa ancaman tersebut benar-benar nyata. Di akhir Juni, sebuah aksi RDoS skala besar dilakukan oleh kelompok yang disebut Armada Collective, dan mereka menuntut sekitar 315.000 dolar Amerika dari tujuh bank di Korea Selatan.

"Saat ini, bukan hanya kelompok penjahat siber yang memiliki teknologi tinggi serta berpengalaman yang bisa menjadi pelaku Ransom DDoS. Penipu manapun yang bahkan tidak memiliki pengetahuan ataupun keterampilan teknis untuk melakukan serangan DDoS skala besar dapat membeli serangan demonstratif untuk tujuan pemerasan," katanya.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement