REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) terus melakukan penapisan terhadap konten radikalisme dan terorisme. Dari konten yang telah diblokir hingga 2019, media sosial Facebook dan Instagram terdeteksi sebagai sumber utamanya.
Pelaksana Tugas Kepala Biro Humas Kominfo Ferdinandus Setu dalam keterangannya di Jakarta, Selasa, mengatakan, dari 10.499 konten diblokir selama 2018, sebanyak 7.160 konten di Facebook dan Instagram, 1.316 konten di Twitter, 677 konten di Google/Youtube, 502 konten di Telegram, 502 konten di media file sharing, dan 292 konten di situs web.
"Sementara, selama Januari sampai Februari 2019 telah dilakukan pemblokiran sebanyak 1.031 konten yang terdiri atas 963 konten Facebook dan Instagram dan 68 konten di Twitter," tutur Ferdinandus.
Ia mengatakan terdapat pertumbuhan pemblokiran konten radikalisme dan terorisme secara signifikan dibandingkan dengan periode 2009 sampai 2017. Dalam kurun waktu 2009-2017, pemblokiran konten yang berkaitan radikalisme dan terorisme hanya sebanyak 323 konten, yang terdiri atas 202 konten di situs web, 112 konten di platform Telegram, delapan konten di Facebook dan Instagram, dan satu konten di Youtube.
Dengan mesin AIS atau crawling yang dioperasikan sejak Januari 2018, lebih dari 10 ribu konten radikalisme dan terorisme ditapis dalam setahun. Sebelumnya, yang berhasil disingkirkan hanya sebanyak 323 konten selama lebih dari tujuh tahun. Mesin AIS terus melakukan pencarian konten dalam situs web atau platform setiap dua jam sekali.
Kominfo juga bekerja sama dengan Polri untuk menelusuri akun-akun yang menyebarkan konten terorisme, radikalisme, dan seperatisme. Sedangkan, tindakan pemblokiran atau penapisan konten dilakukan atas permintaan dan koordinasi dengan Badan Nasional Penanggulan Terorisme (BNPT).
Selain itu, sesuai dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas UU RI Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Sebelumnya, Karopenmas Divisi Humas Polri Brigjen Pol Dedi Prasetyo mengatakan, terduga teroris yang ditangkap di Sibolga dan Lampung berkomunikasi dengan Facebook, surel, serta aplikasi perpesanan.