REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sebagai salah satu kekuatan ekonomi terbesar di Asia Tenggara disertai kelas menengah yang tumbuh pesat, Indonesia kian rentan terhadap serangan malware, khususnya dengan pertumbuhan bisnis di berbagai sektor.
Malware diciptakan dengan berbagai intensi, namun kebanyakan malware dibuat untuk tujuan kriminal, seperti menyerang institusi pemerintahan, perusahaan, dan bahkan individu. Ekonomi malware berkembang begitu pesat seiring dengan bisnis malware yang semakin menguntungkan.
“Apapun yang Anda gunakan dapat menjadi sasaran mereka, baik saat melakukan perdagangan saham atau ketika memegang peranan penting dalam lembaga pemerintahan. Kita bicara soal data, khususnya data penting. Pengembang malware menjadi ancaman yang siap mencuri data Anda dan semua orang bisa menjadi targetnya,” ujar Direktur Regional Asia Tenggara di Check Point Software Technologies, Evan Dumas, dalam siaran persnya, Jumat (13/9).
Laporan teranyar dari Check Point berjudul 'Cyber Attack Trends: 2019 Mid-Year Report' mengungkapkan bahwa, terdapat lima jenis malware yang berpotensi untuk berkembang di Indonesia yaitu ransomware (11 persen), perbankan (30 persen), seluler (34 persen), cryptominers (48 persen) dan botnet (42 persen). Artikel tersebut juga mengungkapkan bahwa baik itu ponsel, media penyimpanan data atau on-premise, intinya, tidak ada yang kebal terhadap serangan malware.
“Dimanapun ada penyebaran uang, pasti terdapat ancaman malware, termasuk platform e-commerce. Para sindikat penjahat siber malware akan berusaha mengakses data Anda,” lanjutnya.
Sebagai contoh, 'Agent Smith', jenis malware ponsel yang ditemukan oleh peneliti Check Point setidaknya telah menjangkiti lebih dari 570 ribu perangkat di Indonesia, sementara para penggunanya masih belum menyadari. Mirip dengan aplikasi Google, bagian inti dari malware mengeksploitasi beberapa kelemahan sistem operasi Android dan secara otomatis mengganti aplikasi yang sudah terpasang pada gawai dengan versi berbahaya tanpa diketahui oleh penggunanya.
Sementara itu, 'Agent Smith' digunakan untuk mendongrak keuntungan dengan penggunaan iklan berbahaya, hal tersebut sangat mungkin terjadi untuk tujuan yang mengganggu dan berbahaya seperti pencurian kredit bank dan penyadapan.
Pertumbuhan serangan malware yang meningkat harus diperhatikan, dan strategi keamanan siber dituntut untuk melawan ancaman tersebut. “Laporan kami menunjukkan bahwa terdapat 50 persen peningkatan serangan malware sejak 2018,” ucapnya, merujuk pada peningkatan jumlah serangan malware terhadap aset perusahaan yang terdapat pada media penyimpanan data, platform surel, dan perangkat seluler individu.
Banyak orang merasa bahwa perangkat lunak antivirus sudah cukup untuk melindungi gawai mereka. Anggapan ini tampaknya sudah tidak berlaku, mengingat malware sekarang disebarkan melalui banyak vektor, contohnya PC, jaringan dan umumnya perangkat seluler serta media penyimpanan data.
“Apa yang kita butuhkan saat ini adalah solusi tepat yang tidak hanya dapat menghapuskan virus biasa, namun juga ampuh mengatasi serangan malware paling canggih,” kata Dumas.