REPUBLIKA.CO.ID, Pada 2011, dasar laut berguncang dan mengirimkan ombak hingga setinggi 41 meter ke pesisir Jepang. Pada 2004, hampir seluruh dunia merasa terguncang ketika gempa di Sumatra membuat tsunami ke berbagai kawasan pesisir di tepi Samudera Hindia.
Pada 2016, gempa bumi dengan kekuatan 7,8 skala richter menciptakan retakan dekat Kaikoura, Selandia Baru. Hal itu pun dianggap banyak ahli seismologi sebagai gempa paling rumit dalam sejarah.
Dari seluruh rangkaian tersebut, peneliti menemukan satu hal yang serupa. Kejadian itu kebanyakan terjadi di zona subduksi. Zona subduksi adalah wilayah pertemuan tumbukan lempeng tektonik. Hal itu dapat menciptakan kekuatan besar hingga membuat gempa dan aktivitas vulkanik. Banyak masyarakat yang tinggal di zona subduksi sudah memahami tanah tempat tinggalnya dapat bergeser sewaktu-waktu.
Hingga saat ini, peneliti masih kesulitan memprediksi kapan dan di mana gempa bisa terjadi. Untuk itu, ahli seismologi, vulkanologi, fisika, serta astronomi bergabung dalam sebuah upaya bernama SZ4D Initiative. Seperti dikutip dari Live Science, mereka berupaya untuk bisa mendapatkan data dari zona subduksi yang belum pernah bisa dicapai sebelumnya.
Ahli seismologi dari Laboratorium Seismologi Berkeley Diego Melgar mengatakan, pola terjadinya gempa bumi bisa menunjukkan kekuatan yang akan muncul, lokasi kejadian, dan ketinggian tsunami.
Saat ini, kebanyakan gempa bumi di zona subduksi terjadi di lepas pantai. Sementara, kebanyakan dari instrumen penelitian masih berada di darat. Oleh karena itu, diperlukan instrumen yang bisa digunakan di dasar laut.
Akan tetapi, ujarnya, meletakkan instrumen penelitian di dasar laut sangat mahal dan membutuhkan kecanggihan teknologi. "Ini seperti pergi ke bulan namun semua orang sepakat kita harus mencapainya untuk mengatasi masalah ini," ujar Melgar.