REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Fenomena alam Super Blue Blood Moon menarik perhatian masyarakat luas. Dibalik mitos sisi mistis di masyarakat Indonesia dan perintah agama Islam untuk melaksanakan sholat gerhana, fenomena yang jarang terjadi ini dapat dijadikan momentum untuk observasi atau sekedar mengamati keindahan alam.
Gerhana bulan memang sudah dapat diprediksi sebelumnya. Terdapat metode yang dapat menghitung waktu kapan matahari, bumi dan bulan berada dalam satu garis sehingga terjadi gerhana. "Perhitungan dilakukan dengan metode Meeus, 1998," papar Peneliti Muda Astronomi dan Astrofisika BMKG, Rukman Nugraha.
Meski di Amerika super blue blood moon ini terjadi pada 152 tahun yang lalu, ternyata di Indonesia fenomena ini pernah terjadi pada 30 Desember 1982. Namun di Amerika bukan blue moon karena pada saat itu di sana bukan purnama kedua di bulan yang sama.
"Lain halnya dengan di Indonesia, jadi saat itu di Indonesia bisa disebut super blue blood moon, sementara di Amerika hanya gerhana bulan perigee (super blood moon) saja," jelas Ruqman.
Dia menuturkan jadwal dari super blue blood moon yang dapat teramati di Indonesia ini sudah dapat diprediksi sebelumnya. "Jangka waktunya tidak tentu," katanya.
Data dari BMKG super blue blood moon untuk bagian waktu WIB yang dapat diamati di Indonesia dari tahun 1900 hingga 2100 ada di tanggal 30 Desember 1963, 30 Desember 1982, 31 Januari 2018 dan 31 Januari 2037.
Fenomena serupa, gerhana bulan total blue moon yang juga dapat diamati di Indonesia sudah memiliki data tersendiri. Untuk gerhana bulan ini, tidak memiliki dampak bulan terlihat lebih besar dan air pasang laut tinggi karena bulan tidak berada di perigee atau jarak terdekat bulan dengan bumi. "Jadi, ada dua GBT + blue moon yang bukan GBT Perige, yaitu 31 Desember 2028 dan 30 Oktober 2050," paparnya.
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement