REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ada orang dapat duduk di luar sepanjang musim panas dan tidak menderita gigitan nyamuk. Namun, orang lain bisa menjadi korban gigitan nyamuk dan selalu merasa gatal karenanya. Apa yang menjadi penyebabnya?
Sebagian besar, ini menyangkut lanskap kimia tak terlihat dari udara di sekitar kita. Nyamuk memanfaatkan lanskap tersebut dengan menggunakan perilaku khusus dan organ sensoriknya untuk menemukan korban dengan mengikuti jejak kimiawi yang ditinggalkan tubuh manusia.
Secara khusus, nyamuk mengandalkan karbon dioksida untuk menemukan korbannya. Ketika manusia mengembuskan napas, karbon dioksida dari paru-paru tidak langsung menyatu dengan udara. Karbon dioksida akan menggumpal sementara di udara yang kemudian menjadi jejak untuk diikuti nyamuk.
"Nyamuk mulai menyesuaikan diri dengan kumpulan karbon dioksida dan terus terbang melawan angin saat mereka merasakan konsentrasi yang lebih tinggi daripada yang terkandung di udara ambien normal," kata Joop van Loon, ahli entomologi di Universitas Wageningen di Belanda.
Menggunakan karbon dioksida, nyamuk dapat mengunci target dari jarak hingga 164 kaki (50 meter). Hal-hal mulai menjadi pribadi ketika nyamuk berjarak sekitar tiga kaki (1 m) dari sekelompok target potensial. Dalam jarak dekat, nyamuk memperhitungkan banyak faktor yang bervariasi dari orang ke orang, termasuk suhu kulit, keberadaan uap air, dan warna kulit.
Para ilmuwan berpendapat bahwa variabel terpenting yang diandalkan nyamuk ketika memilih satu orang di atas yang lain adalah senyawa kimia yang diproduksi oleh koloni mikroba yang hidup di kulit manusia.
"Bakteri mengubah sekresi kelenjar keringat kita menjadi senyawa volatil yang dibawa melalui udara ke sistem penciuman di kepala nyamuk," kata Van Loon seperti dilansir dari Live Science.
Rangkaian kimiawi ini rumit, melebihi 300 senyawa yang berbeda, dan bentuknya bervariasi dari orang ke orang berdasarkan variasi genetik dan lingkungan.
"Jika Anda membandingkan ayah dan anak perempuannya, mungkin ada perbedaan dalam rasio bahan kimia yang dihasilkan mikroba di tubuhnya," kata Jeff Riffell, seorang profesor biologi di University of Washington yang telah mempelajari atraksi nyamuk.
Misalnya, pria dengan keragaman mikroba kulit yang lebih besar cenderung mendapatkan lebih sedikit gigitan nyamuk daripada pria dengan mikroba kulit yang kurang beragam. Hal itu merupakan temuan studi 2011 yang dimuat di jurnal PLOS ONE.
Selain itu, pria dengan mikroba yang kurang beragam cenderung memiliki bakteri Leptotrichia, Delftia, Actinobacteria Gp3, dan Staphylococcus di tubuhnya. Sebaliknya, pria dengan beragam mikroba cenderung memiliki bakteri Pseudomonasdan Variovorax di kulit mereka, demikian temuan studi itu.
Perbedaan kecil dalam komposisi rangkaian kimiawi ini dapat menjelaskan perbedaan besar dalam berapa banyak gigitan yang didapat seseorang. Komposisi koloni-koloni mikroba itu juga dapat bervariasi dari waktu ke waktu pada individu yang sama, terutama jika orang itu sakit, menurut Riffell.
Manusia tidak memiliki banyak kendali atas mikrobioma pada kulitnya, tetapi Riffell memang menawarkan beberapa saran berdasarkan penelitiannya.
"Nyamuk menyukai warna hitam, jadi pertimbangkan untuk mengenakan sesuatu yang lebih ringan pada kegiatan Anda berikutnya," ujar Riffell.