Senin 24 Feb 2020 15:10 WIB

Menristek: Orientasi Penelitian Sekadar Penyerapan Anggaran

Karena sekadar penyerapan anggaran, kualitas hasil penelitian masih kurang

Wakil Presiden Maruf Amin saat membuka rapat kerja Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) di Gedung BPPT, Jakarta, Senin (24/2).
Foto: Republika/Fauziah Mursid
Wakil Presiden Maruf Amin saat membuka rapat kerja Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) di Gedung BPPT, Jakarta, Senin (24/2).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Menteri Riset dan Teknologi/Kepala Badan Riset Inovasi Nasional (BRIN) Bambang Brodjonegoro mengatakan orientasi penelitian di Indonesia saat ini hanya demi kepentingan penyerapan anggaran. Akibatnya, kualitas hasil penelitian masih kurang.

"Riset dan birokrasi itu tidak bisa kawin, karena dua hal itu mempunyai dua prinsip yang berbeda. Riset tidak bisa dikembangkan dengan jenjang struktural, dengan rumitnya birokrasi seperti yang kita alami sekarang. Sehingga, orientasi riset kita sekarang adalah sekadar kegiatan, sekadar penyerapan anggaran," kata Bambang saat menyampaikan sambutan dalam Pembukaan Rapat Kerja Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Senin (24/2).

Sumber pendanaan riset menjadi faktor penting dalam menentukan arah pembangunan nasional berbasis riset dan inovasi. Menurut Bambang, penganggaran riset ideal adalah yang lebih banyak berasal dari sektor industri swasta dibandingkan dari Pemerintah.

Selama ini di Indonesia, 80 persen anggaran riset nasional berasal dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN), sementara 20 persen lainnya baru dari sektor swasta. Proporsi tersebut tidak tepat karena penelitian dilakukan tidak didasarkan pada kebutuhan pasar.

"GERD (Gross Expenditure on Research and Development) kita cuma 0,25 persen dari GDP (gross domestic product); 80 persennya datang dari APBN dan hanya 20 persen yang dari swasta. Justru ini yang membuat riset tidak akan maju, karena riset tidak didorong oleh suatu kebutuhan yang real," tambahnya.

Sementara di Korea Selatan, Jepang dan Thailand, lanjut Bambang, porsi pendanaan riset dari Pemerintah jauh lebih kecil dibandingkan dari sektor industri swasta. Industri swasta lebih mengerti akan kebutuhan pasar; sehingga jika pendanaan riset berasal dari sektor swasta, maka penelitian yang dihasilkan akan lebih tepat guna bagi kebutuhan masyarakat.

"Swasta yang tahu apa yang menjadi kebutuhan di market, bukan Pemerintah. Kalau Pemerintah yang sibuk riset, maka ujungnya adalah penyerapan anggaran yang tidak berujung pangkal, yang tidak jelas apa fokus risetnya," ujarnya.

Selain proporsi sumber pendanaan, kualitas dan kuantitas sumber daya manusia (SDM) juga menjadi faktor lain penentu riset di Indonesia. Dibandingkan dengan negara maju, kualitas peneliti berpendidikan S3 masih belum setara dengan peneliti di negara-negara maju, tambahnya.

"Baik dari segi jumlahnya, dari segi kualitasnya memang belum standar kalau dibandingkan dengan perkembangan di negara maju. Kita bicara mengenai peneliti berkualifikasi S3, rasio SDM peneliti terhadap jumlah penduduk, ditambah dengan produktivitas dari penelitinya sendiri," ujarnya.

sumber : Antara
BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement