REPUBLIKA.CO.ID, STOCKHOLM -- Makanan sisa yang dibuang ternyata juga menimbulkan efek rumah kaca. Namun, menurut peneliti yang meneliti makanan sisa Universitas Swedia, Mattias Eriksson, masih banyak orang yang tidak sadar dampaknya.
"Saya pikir masih banyak orang yang sama sekali tidak sadar akan hal ini (dampak iklim atas sampah makanan," kata Eriksson, dilansir di BBC, Ahad (1/3).
Menurut Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) PBB, Jika limbah makanan adalah sebuah negara, maka diperkirakan akan menjadi penghasil emisi gas rumah kaca tertinggi ketiga setelah Amerika Serikat dan China. Apabila masyarakat berhenti membuang makanan maka akan mengurangi delapan persen emisi gas rumah kaca.
Namun, tentu tidak setiap rumah tangga bisa disalahkan atas limbah ini. Sebuah penelitian pada 2018 menemukan sekitar sepertiga buah dan sayuran kita ditolak karena ukuran atau bentuknya tidak sesuai standar yang bisa dijual di supermarket.
Mengukur persis berapa banyak makanan yang kita buang tidaklah mudah. Profesor Universitas Guelph, Kate Parizeau menajalankan penelitian di Kanada yang melibatkan penggalian sampah dari 94 keluarga di Ontario.
Mereka mengkategorikan makanan berdasarkan seberapa bisa dimakan dan berapa banyak jumlahnya. Mereka menemukan, setiap keluarga membuang sekitar tiga kilogram limbah makanan yang sebenarnya dapat dihindari setiap pekannya. Angka ini setara dengan 23,3 kilogram emisi karbon.
"Ada banyak sekali makanan yang sebenarnya bisa dimakan namun berakhir di tempat sampah," kata Parizeau.
Eriksson mengatakan, untuk mengurangi hal ini masyarakat di negara-negara berpenghasilan tinggi perlu mengubah kebiasaan membeli terlalu banyak makanan. Akhirnya, pengurangan permintaan dapat membawa kita ke sistem ketika tidak lagi menghasilkan lebih banyak makanan daripada yang sebenarnya dibutuhkan.
"Bagi kebanyakan orang, setidaknya di dunia barat, mengonsumsi lebih sedikit akan menjadi sesuatu yang dapat mereka sumbangkan untuk mengurangi emisi gas rumah kaca," kata dia.