REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Jabat tangan yang kuat bisa menjadi representasi banyak hal dari seseorang. Misalnya, menunjukkan kekuatan, kepercayaan diri, kesehatan atau bahkan sifat agresif. Baru-baru ini, ilmuwan di Stony Brook University dan Institute for Applied Systems Analysis (IIASA) menemukan, berjabat tangan bisa menjadi salah satu cara untuk mengukur 'umur sejati' seseorang.
Dalam sebuah studi yang dipublikasikan dalam jurnal Plos One, Warren Sanderson dan Serguei Scherbov mengatakan, jabat tangan bisa menjadi pertanda kecepatan penuaan, potensi cacat kematian, dan kemampuan untuk pulih dari sakit. Kesimpulan itu diambil setelah keduanya melakukan peninjauan terhadap 50 publikasi ilmiah yang fokus meneliti populasi dari segala usia.
Mereka menggunakan data yang telah dipublikasikan. Keduanya menggunakan data yang diambil dari survei kesehatan dan pensiunan Amerika. Penelitian ini digunakan sebagai suatu ukuran penuaan untuk membandingkan kelompok populasi usia yang berbeda.
"Kekuatan genggaman mudah diukur dan ini mudah ditemukan dalam berbagai survei penting mengenai penuaan," ujar Scherbov, dikutip sciencedaily.
Berdasarkan hasil survei yang telah dianalisis, peneliti menemukan, perempuan kulit putih usia 65 tahun yang tidak menyelesaikan pendidikan menengahnya memiliki kekuatan jabat tangan yang sama dengan wanita kulit putih usia 69 tahun yang menyelesaikan pendidikan menengah. Artinya, perempuan usia 65 yang tidak sekolah bisa mengalami empat tahun lebih tua dari seharusnya.
Perempuan kulit putih usia 65 tahun yang tidak menyelesiakan sekolah memiliki kecepatan penuaan yang berbeda. Peneliti bisa mengidentifikasi perbedaan proses penuaan antara kelompok populasi yang berbeda berdasarkan karakteristik pada usia masing-masing.
"Tujuan kami adalah mengukur seberapa cepat kelompok yang berbeda dalam usia masyarakat. Jika suatu kelompok lebih cepat tua dibandingkan yang lain, mungkin kita bisa merekomendasikan cara untuk menghambat penuaan tersebut,” ujar dia.