REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) mengakui sampai saat ini belum ada sistem pengawasan konten religi dari 'Content Provider' (CP). Sebab, dibutuhkan ulama untuk mentashih kebenaran setiap materi dari konten religi.
Menurut anggota BRTI, Muhammad Ridwan Effendi, sistem pengawasan konten-konten provider didasarkan pada Undang-Undang no. 36 tahun 1999 tentang Telekomunikasi.
Berdasarkan UU tersebut, konten yang disediakan CP harus memenuhi norma yang ditetapkan. Yaitu, tidak menyinggung SARA (suku, ras, dan agama). Artinya, pengawasannya masih umum.
"Belum ada sistem pengawasan konten religi, yang dijadikan norma masih umum terkait SARA," kata Ridwan pada Republika, Senin (8/4).
Meski, tegas Ridwan, kalau ada konten yang melecehkan dan menghina agama, langsung ada sanksi pemblokiran.
Menurut Ridwan, memang sudah ada pengaduan kasus penghinaan agama, dan langsung diberi tindakan tegas, misalnya kasus konten menghasut pada masyarakat.
Ridwan mengakui, pihak operator atau provider sendiri juga kesulitan untuk melakukan filter konten religi, namun untuk konten berbau SARA memang lebih mudah
Saat ini sistem pengawasannya masih mengandalkan sistem aduan masyarakat. Selama tidak ada aduan dari masyarakat terkait konten, berarti tidak ada masalah terkait konten kebenaran religi.