Kamis 17 Feb 2022 08:08 WIB

Ahli Komputer Swiss Temukan Cara Melestarikan Hewan Langka

Tim ilmuwan dari cole Polytechnique Fdrale de Lausanne EPLF Swiss menemukan teknologi mutakhir yang bisa digunakan sebagai salah satu cara melestarikan hewan langka.

Rep: Mutia Ramadhani/ Red: Partner
.
.

Cara melestarikan hewan langka dengan AI dan big data (ilustrasi)
Cara melestarikan hewan langka dengan AI dan big data (ilustrasi)

Bidang ekologi satwa liar kini telah memasuki era big data dan internet of things sebagai cara melestarikan hewan langka. Teknologi canggih, seperti drone, kamera dan sensor otomatis sudah umum ditempatkan pada satwa atau lingkungan sekitarnya.

Peneliti hari ini jauh lebih mudah mendapatkan data. Jarak dan waktu penelitian bisa dipersingkat, sembari meminimalisir kehadiran manusia secara fisik di habitat alami satwa liar.

Saat ini berbagai platform kecerdasan buatan (AI) sudah tersedia untuk menganalisis kumpulan big data. Namun, sering kali sifatnya terlampau umum dan tidak cocok untuk mengamati perilaku satwa liar dengan tepat.

Tim ilmuwan dari École Polytechnique Fédérale de Lausanne (EPLF) Swiss mencoba menguraikan pendekatan pionir untuk menyelesaikan masalah tersebut. Mereka mengembangkan model lebih akurat dengan menggabungkan kemajuan dalam computer vision dengan keahlian ahli-ahli ekologi.

Penelitian satwa liar telah beralih dari lokal ke global. Teknologi modern kini menawarkna cara baru yang lebih revolusioner untuk menghasilkan perkiraan populasi satwa liar yang lebih akurat. Teknologi ini juga lebih memahami perilaku satwa, memerangi perburuan liar, dan menghentikan laju penurunan keanekaragaman hayati.

Ahli ekologi satwa liar bisa menggunakan AI dan computer vision untuk mengekstrak fitur utama dari gambar, video, dan data visual lainnya untuk mengklasifikasikan spesies satwa liar dengan cepat, menghitung jumlah individunya, dan mengumpulkan informasi tertentu menggunakan big data. Ini sangat diperkukan sebagai salah satu cara melestarikan hewan langka.

Kerja Sama Lintas Disiplin Ilmu

Profesor Devis Tuia selaku Kepala Laboratorium Ilmu Komputasi Lingkungan dan Observasi Bumi EPFL Swiss mengatakan jika ilmuwan komputer ingin mengurangi margin kesalahan program AI yang telah dilatih untuk mengenali spesies tertentu misalnya, mereka harus mampu memanfaatkan pengetahuan ekologi satwa liar.

Para ahli ekologi bisa menentukan karakteristik mana yang harus diperhitungkan dalam program, seperti apakah satu spesies bisa bertahan hidup pada garis lintang tertentu, atau apakaah fisiologi spesies tertentu mengalami perubahan semasa hidupnya.

"Kami ingin membuat lebih banyak peneliti tertarik pada topik ini dan menyatukan mereka agar sama-sama maju bergerak dalam bidang sedang berkembang ini. AI bisa berfungsi sebagai kayalis utama dalam penelitian satwa liar dan pelestariannya lebih luas," katanya.

Algoritma pembelajaran mesin baru bisa digunakan untuk mengidentifikasi satwa secara otomatis, seperti menggunakan pola garis unik zebra, atau dinamika gerakan bisa menjadi tanda identitas satwa tertentu.

Profesor Mackenzie Mathis dari EPFL menambahkan penggabungan ekologi satwa liar dan pembelajaran berbasis mesin adalah kuncinya.

"Ahli ekologi dan biologi di lapangan memunyai pengetahuan besar tentang satwa, sedangkan kami sebagai peneliti mesin bertugas bekerja sama dengan mereka membangun alat untuk menemukan solusi," jelasnya.

Cara Melestarikan Hewan Langka dengan DeepLabCut

Profesor Tuia dan tim EPFL telah mengembangkan teknologi berupa program untuk mengenali spesies hewan berdasarkan gambar drone. Teknologi tersebut baru saja diuji pada populasi anjing laut.

Profesor Mathis sementara itu telah meluncurkan paket perangkat lunak (software) open-source yang disebut DeepLabCut. Software ini memungkinkan para ilmuwan untuk memperkirakan dan melacak pose hewan tertentu dengan tingkat akurasi luar biasa. Kita bisa menggunakannya sebagai cara melestarikan hewan langka.

DeepLabCut sudah diunduh hingga 300 ribu kali di seluruh dunia. Awalnya software ini dirancang untuk hewan dalam laboratorium, tetapi kemudian dikembangkan untuk spesies lain di luar.

Mathis mengatakan peneliti di universitas lain kerap kesulitan membagikan penemuan mereka karena belum ada komunitas terbentuk. Ilmuwan sering tak mengetahui program ini ada atau di mana bisa menemukannya untuk penelitian spesifik mereka.

Saat ini Tuia menyebut DeepLabCut telah diperkenalkan pada komunitas ilmuwan bernama Nature Communications. Targetnya audiens lebih luas, terdiri dari peneliti dari seluruh dunia.

"Sejauh ini kami menggunakan pendekatan dari mulut ke mulut untuk membangun jaringan. Kami memulainya pertama kali dua tahun lalu," katanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement