Peran Ulama dalam Peradaban Islam
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Peradaban islam membutuhkan peran ulama sebagai tiang fondasi. Peran itu sesuai dengan ajaran Rasullah Muhammad SAW ketika membangun peradaban islam di Madinah. Demikian Pernyataan Ketua Dewan Dakwah, Adiani Husaini dalam seminar Membangun Peradaban Islam Jakarta, Membangun Negeri Tercinta di Jakarta, Rabu (22/6).
Adiani menuturkan peradaban yang dibangun Nabi Muhammad SAW di Madinah adalah contoh ideal dimana Nabi berhasil membangun masyarakat berabad, masyarakat yang memuliakan orang-orang beriman, berilmu, orang shalih, dan bertaqwa. Selain itu, Nabi juga berhasil membentuk masyarakat Madinah sebagai komunitas muslim yang haus akan ilmu, cinta ibadah dan pengorbanan.
Ia menilai, keberhasilan Nabi dalam membentuk umat merupakan buah kesuksesan menggabungkan dua fondasi utama yang kuat yakni pemerintahan dan agama. Fondasi agama yang dimaksud adalah keikutsertaan ulama sebagai penguat pembangunan peradaban kaum muslimin.
Adiani menuturkan, di awal perkembangan islam di Indonesia, peran ulama begitu kentara membangun peradaban islam dengan berbagai cara dan upaya termasuk melalui kebudayaan. Namun, seiring sejalan, ia melihat peran ulama mengendur bahkan terkukung dalam perkembangan yang terbatas. Ulama hanya berperan untuk komunitasnya sendiri. Selain itu, ulama begitu tergoda bermain politik praktis yang jauh dari upaya mensejahterakan umat baik secara materil dan spritual.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Pusat Kajian Hadis, Ahmad Lutfi Fathullah, menilai kehadiran dan keberadaan ulama seharusnya merajut benang-benang kusut yang ada di masyarakat. Tak hanya itu, ulama juga seharusnya dapat membendung arus liar yang ada dipikiran remaja dan generasi muda.
Ia juga menilai Ulama haruslah menjadi lampu lalu liintas yang mengingatkan umat, kapan umat harus bergerak dan berhenti. Selain itu, ulama juga harus bertindak sebagai pengawal akidah dan pemikiran umat.
Namun, ia sangat meyayangkan peran ulama yang demikian strategis hanya dioptimalkan lewat seremonial, maulidan, tahlilan, buka bersama dan halal bi halal. Ia pun mengkritik mengapa ulama dan ustad sulit untuk berkumpul bersama untuk menentukan langkah bersama demi kesejahteraan umat. Ia juga melihat bertebarannya pondok pesantren dan madrasah sulit untuk bersatu demi kebaikan.
Meski terbilang mengkhawatirkan, Ahmad Luthfi masih melihat potensi ulama untuk memperbaiki diri. Adapun medium introspeksi diri ulama bisa terpecahkan melalui kesadaran diri dan lebih berpikir terbuka melihat arus globalisasi. Dengan dua hal tadi, ia meyakini, ulama bisa memahami problematika umat yang beragam dan memberikan solusi kekinian bagi umat.