DPR: Kita tidak Mengenal Kewarganegaraan Ganda
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Komisi III DPR Bambang Soesatyo menegaskan, Indonesia tidak mengenal kewarganegaraan ganda. Ia menilai, kasus Menteri ESDM Archandra Tahar yang diduga memiliki paspor Amerika Serikat adalah ketelodoran pemerintah yang menganggap itu masalah kecil.
''Berdasarkan UU (No 12 Tahun 2006), kita tidak mengenal dwikewarganegaraan. Maka ketika dia memiliki paspor negara lain, kewarganegaraan Indonesia dia hilang,'' kata Bamsoet kepada wartawan di Jakarta, Ahad (14/8).
Kalau ingin menjadi WNI lagi, kata dia, Archandra harus mengembalikan paspor warga negara lain tersebut. Selain itu, harus mengikuti prasyarat yang ada di Undang-undang, salah satunya adalah sumpah setia.
Politisi Golkar itu menduga, keteledoran ini terjadi karena saat mengumumkan pergantian kabinet, pemerintah hanya mementingkan peningkatan kepercayaan publik terhadap kabinet kerja. Sehingga, persoalan administratif ini tidak diperhatikan.
''Tapi menurut saya, yang paling penting sekarang adalah mencari terobosan bagaimana menyiasati ketentuan UU tersebut,'' ujar dia.
Ia mengakui, memang ada wacana untuk mengubah UU Kewarganegaraan. Tapi belum diusulkan ke DPR, sehingga dirinya belum mengetahui apakah akan menjadi inisiatif DPR atau pemerintah. Hanya saja, proses revisi UU membutuhkan waktu yang cukup lama, sehingga perlu terobosan-terobosan agar tetap bisa bekerja.
Apalagi, revisi UU sangat tergantung bunyi alasanya, apakah sudah sedemikian terdesaknya sehingga perlu direvisi. Pertanyaannya, kata Bamsoet, lebih penting mana, mengedepankan kepentingan lebih luas atau mempermasalahkan soal administrasi.
Namun dia mengakui, melanggar UU bisa menjadi preseden buruk kedepannya dan dikhawatirkan akan menjadi kebiasaan. ''Tapi kita perlu mendengar alasan mengangkat menteri ini, mungkin alasannya keterdesakan kebutuhan untuk memperbaiki sektor energi,'' kata dia.
Bamsoet menilai diperlukan kearifan semua pihak untuk dapat memahami kondisi yang ada. Ia menyatakan akan protes keras kalau alasan presiden tidak bisa diterima.