Sri Mulyani Buka Opsi Penundaan Penarikan Pajak Pph Pasal 21
Penundaan ini merupakan bagian dari insentif untuk menangkal efek virus Corona.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Keuangan Sri Mulyani membuka kemungkinan pemberian insentif berupa penundaan penarikan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21. Rencana ini dalam rangka membantu menangkal efek virus Corona terhadap perekonomian, terutama bagi dunia usaha.
Sri menjelaskan, penundaan pembayaran PPh Pasal 21 yang dipungut dari Wajib Pajak (WP) orang pribadi penerima upah bukanlah kebijakan baru. Pada krisis ekonomi yang terjadi lebih dari satu dekade lalu, kebijakan ini sudah sempat dilaksanakan.
"Seperti dulu, 2008-2009, PPh 21 bisa kita tunda," ujarnya ketika ditemui ditemui di Gedung Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK), Jakarta, Rabu (4/3).
Diketahui, pada 2008, pemerintah melalui Kementerian Keuangan memberikan kelonggaran kepada WP badan untuk mengangsur atau menunda pembayaran pajak. Relaksasi ini bahkan tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 184 Tahun 2007 tentang Penentuan Tanggal Jatuh Tempo Pembayaran dan Penyetoran Pajak, dan Tata Cara Pembayaran, Penyetoran dan Pelaporan Pajak serta Tata Cara Pengangsuran dan Penundaan Pembayaran Pajak.
Ketentuan tersebut resmi diaplikasikan pada 1 Januari 2008 dan kini sudah tidak berlaku. Tapi, apabila merujuk pada regulasi itu, WP dapat mengajukan permohonan penundaan atau pengangsuran terhadap pajaknya dengan paling lama 12 bulan. Kebijakan ini dengan mempertimbangkan kesulitan likuiditas atau keadaan di luar kekuasaan WP.
Sri mengatakan, penundaan penarikan PPh 21 ini menjadi salah satu poin yang menjadi opsi stimulus fiskal guna menghadapi perlambatan ekonomi sebagai dampak virus Corona. Paket ini menjadi paket stimulus kedua yang akan dikeluarkan pemerintah. "Dari sisi fiskal, kita akan lebih fleksibel," ujarnya.
Sebelumnya, pemerintah sudah mengeluarkan paket stimulus pertama yang langsung diberikan kepada konsumen. Misalnya, menambahkan anggaran kartu sembako dari Rp 150 ribu per bulan per penerima menjadi Rp 200 ribu per bulan per penerima.
Stimulus lain diberikan melalui diskon perjalanan wisata bagi wisatawan. Di sisi lain, pemerintah juga meminta agar sejumlah destinasi wisata tidak menarik pajak restoran dan hotel agar lebih menarik banyak wisatawan. Pemerintah pusat akan menggantikan pajak ini langsung kepada pemerintah daerah.