Iuran Batal Naik, BPK Siap Beri Masukan ke BPJS Kesehatan

Mahkamah Agung (MA) membatalkan kenaikan iuran BPJS Kesehatan

Antara/M Risyal Hidayat
Petugas memasukkan data pelayanan di Kantor Pelayanan Kantor Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan Jakarta Pusat, Matraman, Jakarta, Senin (9/3/2020).(Antara/M Risyal Hidayat)
Rep: Adinda Pryanka Red: Nidia Zuraya

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA –Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) enggan memberikan komentar maupun rekomendasi terhadap pengelolaan keuangan BPJS Kesehatan setelah keputusan Mahkamah Agung (MA) pada akhir Februari lalu. Keputusan itu berisikan pembatalan kenaikan iuran peserta mandiri BPJS Kesehatan.

Anggota III BPK Achsanul Qosasi menuturkan, pihaknya tidak dapat memberikan tanggapan pada saat ini. Pihaknya harus menganalisis isu tersebut terlebih dahulu. "Kita akan memberikan masukan saat pemeriksaan," tuturnya saat dihubungi Republika, Jumat (13/3).

Pada Kamis (27/2), MA membuat putusan membatalkan pasal 34 ayat (1) dan (2) Peraturan Presiden Nomor 75 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018, tentang Jaminan Kesehatan. Dalam putusannya, MA menyatakan dua pasal tersebut tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.

Dalam pasal itu, pemerintah mengatur iuran peserta bukan penerima upah (PPBU) dan peserta bukan pekerja (BP) menjadi Rp 42 ribu per orang per bulan, dengan manfaat pelayanan ruang perawatan kelas III. Kemudian, iuran Rp 110 ribu dengan manfaat ruang perawatan kelas II, dan Rp 160 ribu dengan manfaat ruang perawatan kelas I.

Dengan putusan MA, pengaturan iuran tersebut kembali seperti diatur Perpres Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan. Regulasi ini menyebutkan, iuran mandiri kelas III sebesar Rp 25.500 per orang per bulan, sementara iuran mandiri kelas II sebesar Rp 51 ribu per orang per bulan, dan iuran mandiri kelas I sebesar Rp 80 ribu per orang per bulan.

Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani menyebutkan, putusan kenaikan iuran peserta mandiri dibuat atas dasar kondisi keuangan BPJS Keuangan yang masih gagal bayar hingga Rp 15,5 triliun sampai akhir 2019. Situasi ini terjadi meskipun Kemenkeu sudah menyuntik dana sebesar Rp 13,5 triliun di tahun yang sama.

"Ini diharapkan mampu memberikan tambahan penerimaan BPJS sehingga dia bisa memenuhi kewajiban yang tertunda," ujar Sri dalam rapat gabungan lintas komisi bersama dengan pemerintah di Ruang Pansus B DPR, Jakarta, Selasa (18/2).


Baca Juga


BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler