Desakan Dokter dan Kegelisahan Perawat kepada Pemerintah

Pemerintah didesak ambil upaya darurat menyusul akselerasi kasus corona di Indonesia.

Abdan Syakura
Perawat mengenakan pakaian alat pelindung diri (APD) di Ruang Isolasi Infeksi Khusus (RIIK) untuk wabah Virus Corona, di Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS), Kota Bandung. (ilustrasi)
Red: Andri Saubani

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Rr Laeny Sulistyawati, Zainur Mahsir Ramadhan, Sapto Andika Candra

Jumlah kematian akibat corona di Indonesia melonjak menjadi 19 jiwa pada Rabu (18/3). Tambahan jumlah kematian juga diiringi akselerasi angka temuan kasus positif yang totalnya kini menjadi 277 kasus.

Pengurus Besar (PB) Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) mendesak pemerintah melakukan upaya darurat, di antaranya menambah rumah sakit rujukan untuk menangani pasien. "Kalau tidak dilakukan maka rumah sakitnya tidak bisa menampung pasien," ujar Ketua Umum Pengurus Besar IDI Daeng M Faqih saat dihubungi Republika, Rabu (18/3).

Faqih menambahkan, meski ada tenaga dokter yang tidak dibutuhkan atau menanggur, jika fasilitas kesehatan khusus rujukan tidak ditambah, persoalan yang dihadapi adalah jumlah ruangan yang kurang. Selain itu, ia menyebutkan, alat kesehatan untuk menanganinya juga bermasalah karena tak memadai. "Jadi, strateginya ya menambah rumah sakit," katanya.

Dengan ditambahnya rumah sakit, dia menambahkan, berarti otomatis tenaga medis dokter juga bertambah. Di satu sisi, pihaknya juga meminta, yang perlu diperhatikan adalah dukungan pemerintah seperti penyediaan alat perlindungan diri (APD).

Dia mengaku pihaknya meminta tambahan APD karena RS baru pasti tidak dilengkapi dengan banyak APD, bahkan tidak menyediakan sama sekali. Jika kelengkapan APD tidak dipenuhi, ia khawatir tenaga kesehatan dokter yang bertugas akan kewalahan dan menjadi bumerang untuk dia.

"Apalagi, APD di rumah sakit kan hanya sedikit yang tersedia, padahal ini kondisi darurat. Jadi, pasti tidak cukup APD-nya," ujarnya.

Dia mengaku pihaknya telah mengajukan permohonan APD pada Gugus Tugas Penanganan Covid-19. Hasilnya, dia melanjutkan, pihak pemerintah mengaku berkomitmen untuk menyediakannya.

"Gugus tugas bilang berkomitmen menyiapkan atau memberikan suplai. Kemudian, APD akan disalurkan ke RS itu," ujarnya.

Faqih juga meminta pemerintah melakukan pencegahan dari sumbernya dengan mengungkap data pasien positif Covid-19. Ia menyebutkan, langkah ini penting dilakukan karena selama ini contact tracing pasien positif corona tidak jelas. "Padahal, membuka data pasien ini untuk mencegah penularan," ujarnya.

Kalau memang tidak mau diungkap ke publik, dia melanjutkan, minimal data tersebut diungkap ke aparat seperti TNI maupun Polri sampai pemerintah hingga RT/RW. Kemudian, ia menyebutkan, perangkat desa ini ikut melokalisasi daerah itu dan mengawasi yang bersangkutan benar-benar mengisolasi diri. 

"Kalau tidak dibuka, siapa yang mengawasi," katanya.

Selain itu, ia meminta isolasi di rumah atau social distancing yang kini tengah diterapkan juga harus diawasi pemerintah. Karena itu, ia meminta aparat juga harus dilibatkan untuk mengawai hal itu. Jika upaya ini tidak dilakukan, ia menambahkan, meski RS ditambah dan APD dilengkapi, kasus tetap bertambah.

"Kalau sumbernya tidak dibendung maka tetap susah nanti," kata Faqih.

Kesiapan pemerintah dalam menghadapi wabah corona di Indonesia juga membuat Persatuan Perawat Nasional Indonesia gelisah. Mereka mempertanyakan apa yang telah disiapkan pemerintah, termasuk alat perlindungan diri (APD) untuk mereka saat menangani pasien.

Baca Juga



"Kami gelisah karena yang sudah disiapkan pemerintah apa? Karena katanya mau ditambah fasilitas di rumah sakit seperti APD, sedangkan jumlah APD kan terbatas," ujar Ketua Umum Persatuan Perawat Nasional Indonesia Harif Fadhillah saat dihubungi Republika, Rabu (18/3).

Sebab, dia menambahkan, peralatan dan fasilitas di RS termasuk APD harus disiapkan sesuai standar. Padahal, dia melanjutkan, biasanya APD digunakan hanya dalam beberapa jam. Namun, faktanya APD bisa digunakan selama satu shift. Padahal, hal itu tidak sesuai, apalagi jumlahnya terbatas.

"Jika APD belum dilengkapi pemerintah, ini jadi riskan untuk perawatnya," ujarnya.

Selain itu, ia khawatir kebijakan ini bisa menambah beban tugas perawat tanpa pengganti tenaga. Padahal, ia menjelaskan, seorang perawat yang bertugas terus-menerus pasti merasa kelelahan. Kemudian, selain ikut menangani pasien positif corona, ia mengakui para tenaga kesehatan tersebut juga pasti memikirkan keluarganya, termasuk anaknya jika masih kecil.

"Nah, ini kebijakannya seperti apa dari pemerintah? Harus jelas. Saya belum dengar dan bisa jadi persoalan," ujarnya.

Ia meragukan dan mempertanyakan apakah ada sukarelawan yang bersedia mengganti perawat tersebut karena mencari tenaga pengganti diakuinya susah. Padahal, ia menegaskan, sejauh ini perawat menjadi tenaga medis terdepan dalam bencana apa pun.

"Jadi, seharusnya solusinya bersifat komprehensif dan manajemen penggantian shift atau tenaga relawan harus jelas," katanya.

Langkah pemerintah

Pemerintah menyiapkan 227 tambahan rumah sakit (RS) untuk perawatan pasien terinfeksi corona (Covid-19). Penyiapan 227 RS tersebut di luar 132 RS rujukan Covid-19 yang sebelumnya sudah ditetapkan sehingga total RS yang disiapkan pemerintah untuk penanganan Covid-19 sebanyak 359 RS.

Penyiapan RS tambahan itu merupakan arahan dari Presiden Joko Widodo, yakni 109 RS milik TNI, 53 RS Polri, dan 65 RS BUMN. “Sesuai dengan arahan yang disampaikan oleh presiden bahwa 109 RS milik TNI, 53 RS Polri, dan 65 RS BUMN sudah siap untuk melaksanakan perawatan penderita Covid-19,” kata jubir pemerintah untuk penanganan Covid-19, Achmad Yurianto, Selasa (17/3).

Pemerintah juga sedang merancang insentif bagi tenaga medis seperti dokter, perawat, dan pekerja di lingkungan rumah sakit. Presiden Jokowi menjelaskan, pemberian insentif dilakukan sebagai apresiasi terhadap tenaga medis yang bekerja di lini depan untuk merawat pasien Covid-19.

"Termasuk juga saya minta Menkeu ini pemberian insentif bagi para dokter, perawat, dan jajaran rumah sakit yang bergerak dalam penanganan Covid-19 ini," kata Jokowi dalam sambutan rapat terbatas, Kamis (19/3).

Kendati begitu, Presiden Jokowi belum menjelaskan secara terperinci bentuk insentif yang akan diterima oleh para tenaga medis. Presiden menambahkan bahwa dirinya masih akan berkoordinasi dengan Menteri Keuangan Sri Mulyani tentang kebijakan ini.

Selain pemberian insentif, Jokowi juga menekankan bahwa seluruh tenaga medis harus mendapat perlindungan maksimal saat menjalankan kerjanya. Ia meminta Kementerian Kesehatan dan kementerian lain yang terkait memastikan ketersediaan alat pelindung diri (APD) bagi para petugas medis.

"Karena mereka berada di garis terdepan sehingga petugas kesehatan harus terlindung dan tidak terpapar Covid-19," ujar Presiden Jokowi.

Jokowi pada hari ini juga memerintahkan Gugus Tugas Penanganan Covid-19 segera menjalankan rapid test atau tes cepat untuk mendeteksi dini sebanyak mungkin orang dengan risiko terinfeksi virus corona. Jokowi meminta rapid test ini dilakukan dalam cakupan luas sehingga bisa menjaring lebih banyak spesimen yang diperiksa.

"Agar deteksi dini, kemungkinan indikasi awal seorang terpapar Covid-19 bisa kita lakukan. Saya minta rapid test terus diperbanyak dan juga perbanyak tempat-tempat untuk melakukan tes dan melibatkan RS, baik pemerintah, milik BUMN, pemda, RS milik TNI, polri, dan swasta, dan lembaga riset, dan perguruan tinggi," kata Jokowi dalam sambutan rapat terbatas, Kamis (19/3).

Langkah Anies dan pemerintah pusat tangkal Corona - (Republika)

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Berita Terpopuler