Hukum Istihadhah Menurut Ulama Mazhab
Terdapat beberapa pendapat ulama mazhab soal Istihadhah.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Istihadhah secara istilah menurut para ahli fikih adalah darah yang keluar dari wanita bukan pada masa-masa haid ataupun nifas. Lantas bagaimana para ulama madzhab menghukumi istihadhah ini?
Berdasarkan kitab Fikih Lima Madzhab karya Muhammad Jawad Mughniyah disebutkan, kriteria darah istihadhah dapat dikategorikan apabila darah yang keluar melebihi masa haid atau kurang dari masa paling sedikitnya haid. Biasanya pula, darah istihadhah berwarna kuning, bertekstur encer (tidak kental), dingin, dan keluar dengan lemah (tidak deras).
Di sisi lain, para ulama madzhab menyatakan bahwa tidak mewajibkan mandi bagi orang yang sedang istihadhah. Hal ini setidaknya berbeda dari kewajiban mandi bagi orang yang haid.
Adapun istihadhah menurut ulama empat madzhab, tidak menjadi pencegah bagi wanita untuk melakukan sesuatu yang dilarang dalam haid. Baik dalam membaca Alquran, menyentuhnya, memasuki masjid, beriktikaf, thawaf, bersetubuh, dan lainnya.
Jumhur ulama juga menyatakan bahwa hukum serta perlakuan dalam beribadah sangat berbeda antara orang yang sedang haid dengan orang yang sedang istihadhah. Karena istihadhah secara tegas dinyatakan bukan bagian dari haid.
Secara bentuk fisik pun, darah istihadhah sangat berbeda dengan darah haid.
Sementara itu darah nifas juga berbeda dari darah istihadhah. Darah nifas adalah darah yang dikeluarkan dari rahim yang disebabkan persalinan, baik ketika bersalin maupun sesudah bersalin, bukan sebelumnya. Hal ini sebagaimana pendapat para ulama Madzhab Maliki.
Secara simple, umat Islam mengenal istihadhah ini dengan sebutan darah ‘sakit’. Sebab keluarnya darah tersebut di luar siklus mentruasi seorang perempuan dan kerap menunjukkan tanda-tanda sakit yang menyertainya. Seperti badan yang lemas, wajah pucat, dan tak sedikit pula yang merasakan pusing hingga demam akibat istihadhah.
Sedangkan menurut para ulama Madzhab Hambali, darah nifas merupakan darah yang keluar bersama keluarnya anak. Baik sesudahnya maupun sebelumnya, dua atau tiga hari dengan tanda-tanda akan melahirkan.
Adapun menurut pendapat para ulama dari Madzhab Syafi’i, darah nifas adalah darah yang keluar setelah melahirkan, bukan sebelum-sebelumnya atau bukan pula bersamaan.
Para ulama dari Madzhab Hanafi berpendapat, darah nifas adalah darah yang keluar setelah melahirkan atau yang keluar ketika sebagian besar tubuh anaknya sudah keluar. Sedangkan jika darah itu (keluar) sebelum melahirkan, atau darah yang keluar ketika tubuh anaknya baru sebagian kecil yang keluar, maka darah tersebut tidak dinamakan darah nifas.
Sedangkan hukum wanita yang nifas apakah harus mandi atau tidak, para ulama madzhab juga berselisih pendapat. Ulama-ulama dari Madzhab Syafi’i, Hanafi, dan Maliki sepakat bahwa jika wanita melahirkan namun tidak menampakkan darah, ia tetap diwajibkan mandi.
Namun begitu, hal serupa tidak diwajibkan bagi ulama-ulama dari Madzhab Hambali. Kendati terdapat banyak perselisihan, para ulama madzhab sepakat bahwa darah nifas itu tidak mempunyai batas paling sedikitnya.
Sedangkan masa yang paling banyak dalam nifas, terdapat perselisihan pendapat. Ulama dari Madzhab Hambali dan Hanafi berpendapat darah nifas paling lama masanya adalah 40 hari. Sedangkan ulama-ulama dari Madzhab Imam Syafi’i dan Imam Maliki menyatakan masa terlamanya adalah 60 hari.
Sebagai catatan, para ulama madzhab sepakat bahwa jika anak yang lahir itu keluar dari tempat yang bukan biasanya atau karena disebabkan pembedahan, maka wanita itu dinyatakan tidak bernifas. Tetapi kalau masalah iddah talak tetap berlaku setelah keluarnya anak tersebut.
Adapun hukum nifas sama dengan hukum haid. Baik dari segi tidak sahnya shalat, puasa, dan wajib mengqadha kalau ia meninggalkan puasa. Namun demikian yang bersangkutan tidak wajib mengqadha shalat yang ditinggalkan.
Sama seperti haid, orang yang nifas juga diharamkan disetubuhi dan menyetubuhi, menyentuh Alquran, berdiam di dalam masjid atau memasukinya (namun dalam masalah ini, terdapat perselisihan pendapat di kalangan ulama). Sedangkan cara-cara mandi serta syarat-syaratnya, tak ada perbedaan berarti antara orang yang haid dengan yang orang yang nifas.