Ekspor Industri Tekstil Diprediksi Turun 5 Persen Tiap Bulan
Banyak negara tujuan ekspor tekstil memberlakukan lockdown.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) memprediksi, pertumbuhan ekspor tekstil dan produk tekstil (TPT) akan terkoreksi lima persen tiap bulan apabila wabah virus corona (Covid-19) tidak tertangani dengan baik di tingkat global.
Wakil Ketua Umum Bidang Perdagangan Luar Negeri API Anne Patricia Sutanto mengatakan, proyeksi tersebut mengingat banyak negara tujuan ekspor masih memberlakukan lockdown. Hal ini menghambat pertumbuhan permintaan terhadap produk Indonesia.
"Kalau sebulan beres, terkoreksi lima persen. Tapi, kalau lebih dari itu, tiap bulan terus terkoreksi lima persen dari yang diproyeksikan," ujarnya dalam konferensi pers live streaming, Senin (23/3).
Anne menjelaskan, semula API optimistis pertumbuhan ekspor sepanjang 2020 mencapai 10 persen. Angka ini disebutnya tidak jauh berbeda dibandingkan tahun lalu. Tapi, dengan wabah Covid-19 yang terjadi di berbagai negara, membuat asosiasi harus memikirkan kembali proyeksi tersebut.
Anne mengakui, beberapa anggota dari sektor garmen sudah diminta buyer luar negeri untuk menunda (delay) pengiriman. Banyak toko dari buyer tersebut tutup sementara dengan kebijakan lockdown ataupun semi lockdown. Hanya saja, ia belum bisa menyebutkan seberapa besar tingkat penundaan tersebut karena masih harus melakukan inventarisasi. "Kita survei dahulu," katanya.
Guna mencegah dampak ekonomi lebih dalam, asosiasi sudah mendorong anggotanya yang mengalami delay untuk segera meminta pertanggungjawaban kepada buyer. Apabila dibiarkan, Anne khawatir, kondisi tersebut dapat mengganggu arus keuangan perusahaan dalam jangka pendek.
Meski pertumbuhan ekspor harus dikoreksi, API memprediksi besaran net ekspor TPT tahun ini akan membaik dibandingkan tahun lalu. Sebab, ketahanan industri sandang dalam negeri sudah lebih baik untuk memenuhi kebutuhan pasar dalam negeri.
Apalagi, industri China kemarin sempat terhenti beberapa waktu akibat Covid-19. Kondisi ini dinilai Anne mampu menekan tingkat impor bahan baku di sektor TPT sehingga berpotensi menurunkan nilai impor sepanjang tahun.
Dengan kondisi tersebut, Anne menilai, kini sudah saatnya industri TPT meningkatkan fokus menggarap pasar dalam negeri. "Yang penting, gimana kita bisa fleksibel," tuturnya.
Tapi, untuk memanfaatkan pasar domestik, pengusaha juga meminta dukungan dari pemerintah. Direktur Utama CV Blessing Chandra Setiawan menyebutkan, salah satu intervensi yang diharapkan adalah pengenaan Bea Masuk Tindakan Pengamanan (BMTP) bahan baku TPT. Upaya ini diyakininya mampu membantu menjaga pasar dalam negeri.
Pada tahun lalu, pemerintah melalui Kementerian Keuangan merilis tiga peraturan teknis mengenai penerapan kebijakan Bea Masuk Tindakan Pengamanan Sementara (BMTPS) untuk beberapa jenis barang impor terkait TPT.
Di antaranya, Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 161 Tahun 2019 tentang Pengenaan BMTPS Terhadap Impor Produk Benang (Selain Benang Jahit) dari Serat Stapel Sintetik dan Artifisial. Peraturan diberlakukan terhadap produk yang diimpor mulai dari Rp 1.405 per kilogram.
Sementara itu, PMK Nomor 162 Tahun 2019 tentang Pengenaan BMTPS terhadap Impor Produk Kain. Produk tersebut diimpor mulai dari Rp 1.318 per meter hingga Rp9.521/meter serta tarif ad valorem berkisar 36,30 persen hingga 67,70 persen.
Terakhir, PMK Nomor 163 Tahun 2019 tentang Pengenaan BMTPS terhadap Impor Produk Tirai (termasuk Gorden), Kerai Dalam, Kelambu Tempat Tidur dan Barang Perabot Lainnya. Produk tersebut diimpor sebesar Rp 41.083/Kg.
Tapi, regulasi ini bersifat sementara dan hanya berlaku 200 hari sejak ditetapkan pada 6 November 2019. Chandra berharap, ketiganya dapat segera dibuat secara definitif untuk menjaga pasar dalam negeri. "Pertimbangan kami, sekarang sudah banyak negara yang lebih dulu pulih dari Covid-19. Mereka sudah bisa produksi barang dan bisa saja jual lebih murah ke Indonesia," ucapnya.