KPK: Kritik dari ICW Jadi Masukan untuk Perbaiki Kinerja
KPK akan jadikan kritikan ICW sebagai masukan untuk perbaiki kinerja.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menganggap kritik yang disampaikan Indonesia Corruption Watch (ICW) terkait 100 hari kerja pimpinan KPK periode 2019-2023 sebagai perbaikan kinerja lembaganya ke depan. KPK menilai ICW menyampaikan kritikan atas dasar cinta terhadap lembaga itu dan pemberantasan korupsi di Indonesia.
"Kritik, saran, dan masukan yang disampaikan oleh pihak manapun termasuk ICW, tentu KPK terima sebagai perbaikan kerja-kerja mendatang," ucap Plt Juru Bicara KPK Ali Fikri saat dikonfirmasi di Jakarta, Selasa (24/3).
Ali mengatakan, pihaknya meyakini kritikan dan penilaian kerja yang disampaikan ICW atas dasar cinta terhadap KPK dan pemberantasan korupsi di Indonesia. "KPK akan terus berikhtiar dan berkarya semaksimal mungkin bersama penegak hukum lain dan masyarakat dalam pencegahan dan pemberantasan korupsi agar negeri yang kita cintai bersama ini terbebas dari korupsi," ujarnya.
Sebelumnya, ICW memberikan catatan terhadap kerja pimpinan KPK periode 2019-2023 yang dilantik pada 20 Desember 2019 tersebut. Selama 100 hari menjabat sebagai pimpinan KPK, ICW setidaknya mencatat tujuh kontroversi publik yang timbul.
Pertama, gagal menangkap buronan. "Sebagaimana diketahui bahwa dua buronan KPK saat ini tak kunjung bisa ditangkap, yakni Harun Masiku dan Nurhadi," ucap Peneliti ICW Kurnia Ramadhana melalui keterangan tertulisnya di Jakarta, Selasa.
Kedua, Komisioner KPK tidak memberikan informasi yang transparan terkait penanganan perkara kepada publik. "Hal ini bisa dilihat pada kejadian dugaan penyekapan penyidik KPK di Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK) saat mengejar Harun Masiku sebelum menjadi buron," ujar Kurnia.
Ketiga, Komisioner KPK terlihat bertindak sewenang-wenang terhadap pegawainya sendiri. "Bukti konkret atas tindakan ini dapat dilihat ketika penyidik KPK, Kompol Rossa, diberhentikan tanpa melalui mekanisme yang jelas. Padahal yang bersangkutan sedang menangani perkara dugaan suap yang melibatkan Komisioner KPU Wahyu Setiawan dan mantan calon anggota legislatif PDIP Harun Masiku," kata Kurnia.
Keempat, Komisioner KPK berniat memotong kompas proses hukum atas Harun Masiku untuk menutupi kelemahan mereka dalam mencari tersangka tersebut. "Alih-alih serius mencari yang bersangkutan, pimpinan KPK malah mendorong persidangan secara in absentia terhadap Harun Masiku," tuturnya.
Kelima, jumlah penindakan yang dilakukan oleh KPK menurun drastis. "Data KPK menyebutkan sejak 2016-2019 lembaga antirasuah itu telah melakukan tangkap tangan sebanyak 87 kali dengan total tersangka 327 orang. Namun, pada kepemimpinan Firli Bahuri, KPK baru melakukan dua kali tangkap tangan, yakni yang melibatkan Komisioner KPU RI Wahyu Setiawan dan Bupati Sidoarjo," kata dia.
Keenam, Komisioner KPK terlalu sering melakukan pertemuan yang berpotensi mengikis nilai-nilai independensi dan etika pejabat KPK. "Terhitung sejak Januari hingga Februari 2020, Komisioner KPK telah mendatangi 17 instansi negara. Tiga di antaranya kunjungan ke DPR RI," kata Kurnia.
Ketujuh, Komisioner KPK mengumumkan kepada publik terkait penghentian 36 perkara di tingkat penyelidikan. "Tentu publikasi semacam ini tidak lazim dan belum pernah terjadi di KPK. Sebab, keseluruhan perkara tersebut masih dimungkinkan dilanjutkan ke tingkat penyidikan jika di kemudian hari ditemukan bukti tambahan," ujar Kurnia.