Uni Eropa Serukan Gencatan Senjata di Suriah karena Corona
Juru bicara Uni Eropa jelaskan bahaya virus di zona perang
REPUBLIKA.CO.ID, RUSSEL -- Uni Eropa menyerukan gencatan senjata langsung di Suriah untuk melakukan penanganan virus corona atau Covid-19. Juru Bicara Tindakan Eksternal Uni Eropa, Peter Stano dalam sebuah pernyataan menekankan bahaya virus di zona perang.
Stano menegaskan kembali pentingnya mengakhiri permusuhan. "(Gencatan senjata) juga prasyarat untuk menghentikan penyebaran virus corona dan melindungi populasi yang sudah berjuang dari keadaan yang berpotensi menghancurkan," tambahnya dikutip dari Anadolu Agency, Senin (30/3).
Menurut Stano, situasi saat ini di provinsi barat laut Idlib sangat kritis karena tingginya jumlah pengungsi. Uni Eropa pun bergabung dengan Utusan Khusus PBB atas seruan Geir Pedersen Suriah terkait penghentian kekerasan dan membatasi penyebaran virus corona.
Kekhawatiran terkait virus corona atau Covid-19 hinggap di hati warga Suriah yang mengungsi di sebuah kamp di Atmeh, Suriah Utara. Mereka khawatir pemerintahnya tidak berbuat cukup banyak untuk melindungi para pengungsi Suriah yang hidup dalam keadaan kumuh.
Spesialis kesehatan global di Universitas Cambridge, Adam Coutts, menuturkan para pengungsi baik di Suriah atau di tempat lain adalah kelompok yang sangat rentan tidak hanya pada Covid-19, tetapi juga penyakit lain. "WHO mengatakan semua negara harus bersiap untuk virus corona, tetapi sedikit perhatiannya kepada populasi pengungsi yang tersebar di wilayah MENA (Timur Tengah dan Afrika Utara dan Eropa," kata Coutts.
"Jauh lebih banyak orang meninggal di wilayah (Timur Tengah) karena kurangnya akses ke pelayanan kesehatan berkualitas baik, sehingga ini menjadi pembunuh diam-diam yang jarang mendapat perhatian," tambah dia.
Relawan dari Islamic Relief, Mohamed, mengakui kondisi di Idlib seakan sudah pasrah dengan penyebaran wabah virus corona. Tenda pengungsi di Idlib dirancang untuk menampung hanya lima orang, tetapi sebagian besar diisi hingga sepuluh orang. Keadaan ini tentu akan mempercepat tingkat penularan.
"Stok obat juga tidak cukup dan tidak ada ruang yang tepat untuk karantina atau merawat pasien Covid-19. Apalagi unit perawatan intensif sudah kurang dan kami telah melihat banyak pasien yang trauma datang ke rumah sakit. Kami yakin situasi wabah corona ini hanya akan menjadi beban dan dapat menjadi bencana besar," tutur Mohamed.
Suriah telah berada dalam perang saudara sejak awal 2011 sejak rezim di bawah Bashar al-Asad menindak aksi protes dari kalangan pro-demokrasi. Ratusan ribu orang terbunuh dan lebih dari 10 juta lainnya mengungsi dalam sembilan tahun terakhir, menurut pejabat PBB.
Pada 29 November, putaran kedua perundingan Suriah berakhir dengan kegagalan untuk mendapatkan agenda oleh rezim dan kelompok-kelompok oposisi. Pada 5 Maret, Turki dan Rusia menyepakati gencatan senjata untuk menghentikan pertempuran di timur laut Suriah.
Meskipun upaya diplomatik terus berlanjut, rezim Suriah yang didukung Rusia terus dengan operasi militer. Virus yang muncul di Wuhan, China Desember lalu telah menyebar ke sedikitnya 177 negara dan wilayah.
Menurut Pusat Penelitian Virus Corona dari Johns Hopkins University yang berbasis di AS, ada lebih dari 669.300 kasus COVID-19 telah dikonfirmasi di seluruh dunia dengan lebih dari 30.900 kematian dan lebih dari 142.000 telah pulih.