Karantina Wilayah Perlu Diterapkan di Zona Merah Covid-19
Pemerintah harus meningkatkan kapasitas layanan kesehatan, termasuk penyediaan APD.
REPUBLIKA.CO.ID, SLEMAN -- Koordinator Tim Respons Covid-19 Universitas Gadjah Mada (UGM), Riris Andono Ahmad, mengatakan karantina wilayah perlu diterapkan di daerah-daerah yang memang telah ditetapkan sebagai zona merah penyebaran Coronavirus Disease 2019 (Covid-19). Menurut Donni, dalam kondisi karantina wilayah, mobilitas logistik tetapi diperbolehkan.
“Moderate social distancing saat ini masih penting untuk dilakukan di banyak tempat di Indonesia, kecuali yang sudah zona merah, di wilayah tersebut, karantina wilayah bisa dicoba untuk dilakukan,” kata Donni, Senin (30/3).
Donni mengatakan langkah ini penting dalam upaya menurunkan puncak outbreak atau flattening the curve. Donni menjelaskan sejumlah pemodelan terkait dengan wabah Covid-19 ini.
Pemodelan pertama jika moderate social distancing diterapkan sejak awal kemunculan outbreak, ia menerangkan, dampak yang ditimbulkan sebenarnya bisa cukup besar dan mampu turunkan kurva secara signifikan. Dengan asumsi kapasitas deteksi lima persen, skenario yang ditampilkan menunjukkan pengurangan kasus bisa mencapai 70 persen.
Berbasis asumsi tersebut, durasi outbreak berlangsung lebih lama dan puncak outbreak baru terjadi pada hari ke-16. "Di Indonesia sendiri, sejak kemunculan kasus pertama hingga muncul kebijakan social distancing ada delay sekitar dua pekan," ujar Donni.
Ia menyatakan, keterlambatan penerapan pembatasan sosial tetap bisa mengurangi jumlah kasus Covid-19. Berdasarkan pemodelan ini, jumlahnya relatif kecil, yaitu sekitar 18 persen dengan durasi outbreak selama 50 hari.
Selain merekomendasikan penerapan kebijakan karantina wilayah di daerah zona merah, ia mengatakan, pemerintah juga perlu meningkatkan kapasitas skrinning dan diagnosis minimal 10 kali lebih besar dari yang ada. Berdasarkan pemodelan, ia menjelaskan penerapan karantina wilayah dan kapasitas deteksi sebesar 50 persen, pengurangan kasus Covid-19 bisa mencapai 77 persen dengan durasi outbreak selama 22 hari.
Ia juga merekomendasikan peningkatan kapasitas layanan kesehatan. Peningkatan layanan ini mulai pembangunan fasilitas isolasi atau karantina non-RS untuk memisahkan pasien yang tidak butuhkan perawatan.
Sebab, sebagian kasus tidak perlu layanan di RS, tetapi harus isolasi agar tidak menularkan. "Perlu ada tempat karantina untuk memisahkan mereka dari masyarakat umum," kata Donni.
Selain itu, perlu peningkatan kapasitas rumah sakit untuk antisipasi lonjakan jumlah pasien yang perlu perawatan intensif. Serta, kata Donni, memastikan kecukupan alat pelindung diri (APD) bagi dokter dan tenaga medis.
"Ini yang paling mendesak, seperti yang kita tahu saat ini banyak isu terkait keterbatasan APD bagi para petugas medis," ujar Donni.