Mitigasi Logika Paranoid Publik Hadapi Covid-19

Mengapa histeria dan kepanikan publik terjadi?

google.com
Ilsutrasu kepanikan atau histeria massa.
Red: Muhammad Subarkah

REPUBLIKA.CO.ID Oleh: Verdy Firmantoro, Peneliti Indopol dan Mahasiswa Program Doktoral Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Indonesia

Mengamati kasus covid-19, saya teringat dengan tulisan Tom Nichols mengenai Matinya Kepakaran “The Death of Expertise”. Dan Murphy, seorang Kepala Biro Timur Tengah dan Asia Tenggara, The Christian Science Monitor memuji karya Tom Nichols yang dianggap dengan apik menggambarkan konstruksi realitas yang acapkali menyesatkan.

“Ketika warga Amerika membuat opini tanpa berpegang pada jurnalisme yang sesungguhnya, hoaks jadi lebih sulit dibunuh daripada monster-monter di film, dan kata ‘akademis’ sering dianggap sebagai label yang menjijikkan,”  tulis Murphy ketika mengomentari karya Tom Nichols yang terbit tahun 2018.

Awam pun berbondong-bondong memberikan pandangan dengan ratusan atau jutaan pengikut, media-media digital menjadi orkestra saluran informasi yang otoritatif bagi netizen, hoaks merajalela, kebenaran menjadi bias. Pada kondisi inilah sangat relevan mengacu pada apa yang disebut dengan “Matinya Kepakaran”.

Buku karya Thomas Nicholas ini mengajak kita berpikir kritis dengan mencoba untuk menggali substansi persoalan daripada ikut terjebak dalam kegemparan realitas yang mengalienasi kebenaran. Masyarakat dibuat panik bukan kepayang, anomali kebijakan saling tumpang tindih menerka-nerka efektivitas penyelesaian, sementara itu sangat minim yang mempersoalkan masalah dasar tentang pemahaman masyarakat terkait covid-19 secara benar dan tuntas.

Media begitu cepat menyebarluaskan tentang korban demi korban yang terus bergelimpangan. Masyarakat dibuat panik tanpa landasan pengetahuan. Mereka tidak tahu yang seharusnya dilakukan. Inilah yang mengarahkan terbentuknya logika paranoid di kalangan masyarakat. Meminjam istilah Gaye Tuchman (1980) dalam Making News, A Study in the Construction of Reality, “Media mengonstruksi realitas sosial”.

Covid-19 dan Logika Paranoid

Sejumlah spekulasi menyeruak menyoal kasus covid-19. Mulai dari yang menggunakan perspektif sederhana sampai analisis yang sifatnya kompleks. Setidaknya saya mencatat sejumlah anasir yang mem-framing publik terkait covid-19, di antaranya: pandangan bahwa virus ini membahayakan bahkan mematikan, belum ada obatnya, sangat mudah menyebar, ada juga yang berpandangan tidak perlu takut virus cukuplah takut Allah, sampai pandangan ekonomi politik bahwa di balik virus ini ada muatan kepentingan yang salah satunya berkaitan dengan ketidaktuntasan perang dagang Tiongkok vs Amerika Serikat.

Alhasil, berangkat dari pandangan yang beragam dalam memahami covid-19 mendorong munculnya perilaku yang berbeda-beda.

Pandangan publik tidaklah muncul begitu saja. Setiap pandangan merupakan hasil interpretasi atas realitas kasus yang terus menerus diterima terutama dari aktivitas “mengonsumsi informasi” dari berbagai media. Tidak semua media memberikan informasi secara komprehensif dengan merujuk pada para pakar.

Demikian juga publik yang seringkali lebih cepat terpapar informasi secara cuma-cuma, sebelum memastikan validitas kebenarannya. Dampaknya, ketakutan demi ketakutan terus diproduksi dengan tidak bertanggung jawab, semua saling curiga.

Alih-alih membangun kesadaran bersama, yang terjadi justru terbangunnya logika paranoid di tengah-tengah masyarakat. Merujuk pada tulisan Richard Hofstadter (1996) tentang The Paranoid Style in America Politics and Other Essay, memang paranoid lebih dekat dengan terminologi medis, namun paranoid secara umum bisa diartikan sebagai perasaan takut yang berlebihan disertai dengan kecurigaan. Masyarakat cemas, tetapi kecemasannya tidak dibekali dengan pengetahuan yang memadai.

Konstruksi paranoid semakin berkembang dan menjadi logika publik. Imbasnya, sosialisasi-sosialisasi kebijakan seringkali terabaikan. Padahal, setiap orang perlu diajak untuk bertanggung jawab atas diri dan lingkungannya. Cara berpikir seperti ini tidak menyelesaikan masalah, stop paranoid..!



Reaksi publik yang panik menghadapi virus tidak hanya terjadi pada saat ini. Sejumlah virus seperti epidemi AIDS di Amerika, sampai Ebola, SARS dan berbagai penyakit yang tidak diketahui sebelumnya, mengarahkan kecenderungan pada respon yang buruk.

Kisah tersebut setidaknya pernah mencoba diulas oleh Michael Crichton, seorang dokter medis dan penulis fiksi ilmiah. Meminjam istilah Nichols, realitas seperti ini bisa disebut dengan bias konfirmasi. Bias konfirmasi terjadi sebagai bentuk sikap yang mempunyai kecondongan untuk menggiring kebenaran hanya atas yang diyakini, kedangkalan akan pemenuhan komprehensivitas informasi, menutup peluang kebenaran akibat terpapar hoaks yang terlanjur jadi mindset publik.

Rekap laporan isu hoaks dari Kominfo per 20 Maret 2020 sudah mencapai angka 286 kasus. Bayangkan ratusan isu ini hadir bersamaan dengan upaya pemerintah dan berbagai pihak lainnya menangani covid-19. Publik seringkali terpapar lebih cepat dengan disinformasi seperti ini.

Akibatnya, alih-alih melawan virus justru yang terjadi malah salah paham yang membuat laju penetrasi virus terus menyebar. Kegagalan menangkap informasi, justru akan menciptakan pola pikir dan pola sikap yang keliru.

Kampanye kewaspadaan hanya akan sia-sia, jika mayoritas logika publik terbangun dari informasi hoaks, dari cara berpikir yang salah. Para pakar tidak banyak mendapatkan panggung, ketika awam membanjiri ruang publik dengan potongan-potongan informasi viral yang justru mengonstruksi pikiran panik publik (sharing tanpa saring). Setiap individu bisa memproduksi informasi, tetapi tidak semuanya bisa memproduksi kebenaran.

Mitigasi Logika Publik: Tidak Perlu Panik, Tapi Tetap Waspada..!

Mitigasi sering dikaitkan dengan kluster istilah penanganan bencana. Jika mengacu pada Pasal 1 ayat 6 Peraturan Pemerintah No. 21 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana, “Mitigasi diartikan serangkaian upaya untuk mengurangi resiko bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana”.

Ingat, ada kata kunci bahwa mitigasi bukan hanya membangun dalam konteks fisik, melainkan terkait aktivitas membangun kesadaran dan meningkatkan kemampuan. Tentu dalam konteks tersebut ada ranah kognitif yang penting untuk menjadi catatan, atau saya memahami upaya membangun kesadaran bersama dengan istilah logika publik. 

Meminjam penjelasan dari US Department of Homeland Security - Federal Emergency Management Agency (FEMA, 2013), “Mitigation is action taken to reduce or eliminate long-term risk to hazards, sementara mengutip dari Richard B. Rood (2007), Mitigation is anticipatory policy. Intinya, mitigasi mengarah pada upaya mengurangi resiko bencana, termasuk juga membuat kebijakan antisipatif.

Ketika mitigasi diarahkan pada tataran membangun kesadaran atau logika publik menghadapi covid-19, saya mengusulkan apa yang disebut oleh Nichols sebagai metakognisi. Metakognisi dipahami sebagai kemampuan untuk menyadari kesalahan, dengan mengambil jarak, melihat apa yang sedang Anda lakukan, lalu menyadari bahwa yang Anda lakukan salah” (Nichols, 2018).

Lebih lanjut, ancaman minimnya metakognisi berakibat pada keosnya ruang publik akibat pertarungan informasi dari pakar dan orang yang tidak paham tanpa ujung. Ambiguitas publik semakin mengkhawatirkan akibat polusi informasi yang justru menjungkirbalikkan fakta.

Saatnya kita kembali ke pokok persoalan. Publik diajak untuk memahami substansi covid-19 dan cara penanganan secara benar dan tuntas. Mereka tidak selayaknya panik, tetapi tetap perlu waspada. Waspada dalam artian tahu langkah-langkah yang mestinya dikerjakan. Sebab, bencana kemanusiaan ini adalah bencana global. Kita bisa belajar dari banyak negara yang sama-sama ingin keluar dari situasi mencekam, namun tetap disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan.

Membangun logika publik yang siap menghadapi situasi krisis seperti ini memang tidak mudah. Perlu menyamakan frekuensi antara pemahaman para pakar dengan orang awam. Jika gagabah, bukan tidak mungkin kita akan menghadapi situasi terburuk yang tidak pernah kita bayangkan.

Namun, tetap tidak perlu panik. Seorang ahli biofisika sekaligus pemenang Nobel dari Stanford, Michael Levitt memberikan prediksi bahwa di negara-negara yang terkena wabah covid-19 akan mereda seperti halnya hasil analisis statistiknya terhadap korban covid-19 di China (LA TIMES, 2020).

Seyogyanya, pemerintah maupun media memberi perhatian lebih untuk menjadi leading sector dalam rangka memitigasi logika publik agar tidak paranoid hadapi covid-19. Sudah selayaknya, kebijakan dari pemerintah maupun berita dari media tidak menyulut kepanikan publik.

Sementara itu, publik sudah sepatutnya dapat bekerjasama mengatasi covid-19, mau mengikuti protokol kesehatan untuk mencegah penyebaran yang lebih luas, dan tentunya tidak panik, namun tetap waspada. Publik bertransformasi dari paranoid menjadi public self awarnnes “Kami berkerja untuk kamu, kamu di rumah untuk semua”.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Berita Terpopuler