ADB Proyeksikan Ekonomi Regional Asia Tumbuh 2,2 Persen

Pada September 2019, ADB masih memproyeksi ekonomi Asia bisa tumbu hingga 5,5 persen.

pixabay
Ilustrasi Pertumbuhan Ekonomi
Rep: Adinda Pryanka Red: Nidia Zuraya

REPUBLIKA.CO.ID, MANILA -- Pertumbuhan ekonomi regional di negara-negara berkembang Asia akan menurun tajam pada 2020 karena efek pandemi virus corona (Covid-19), sebelum memulih pada 2021. Data ini disampaikan Bank Pembangunan Asia (Asian Development Bank/ ADB) dalam Asian Development Outlook yang dirilis Jumat (3/4).

Laporan tersebut memperkirakan, pertumbuhan regional Asia hanya mencapai 2,2 persen pada tahun ini, turun dari proyeksi yang sempat disampaikan ADB pada September 2019, yakni hingga 5,5 persen. Prediksi tersebut juga melambat dari realisasi 2019, 5,2 persen.

Pertumbuhan diperkirakan membaik dan menyentuh 6,2 persen pada 2021. Tapi, ini dengan asumsi, wabah Covid-19 sudah berakhir dan aktivitas di seluruh kawasan kembali berjalan normal.

Tanpa memasukkan ekonomi industri baru (Hong Kong, Cina, Korea, Singapura dan Taipei, Cina), negara-negara berkembang Asia bisa tumbuh 2,4 persen pada tahun ini. Nilai tersebut menurun signifikan dibandingkan proyeksi ADB semula, 5,7 persen. Pada 2021, pertumbuhannya menjadi 6,7 persen.

Tapi Kepala Ekonom ADB Yasuyuki Sawada mengatakan, situasi global masih tidak pasti. Evolusi pandemi global merupakan hal yang tidak terprediksi, begitupun pada prospek ekonomi global dan regional. "Pertumbuhan bisa menjadi lebih rendah dan pemulihannya lebih lambat dari yang kami perkirakan sekarang," katanya, dilansir di situs resmi ADB.

Dengan kondisi tersebut, Sawada menjelaskan, dibutuhkan upaya yang kuat dan terkoordinasi untuk mengendalikan pandemi Covid-19 serta meminimalkan dampak ekonominya. Khususnya terhadap kelompok yang paling rentan.

Di Cina, kontraksi tajam dalam industri, jasa, penjualan ritel dan investasi pada kuartal pertama akibat Covid-19 akan menarik pertumbuhan ke bawah hingga level 2,3 persen pada 2020. Pertumbuhan akan pulih ke 7,3 persen, sebelum kembali ke pertumbuhan normal.

Di India, berbagai langkah untuk menahan penyebaran virus dan lingkungan global yang lebih lemah akan mengimbangi manfaat dari pemotongan pajak baru-baru ini maupun reformasi sektor keuangan. ADB memperkirakan, pertumbuhan di India melambat menjadi 4,0 persen pada 2020, sebelum menguat menjadi hingga 6,2 persen pada tahun depan.

ADB mencatat, banyak tantangan yang dihadapi kawasan Asia. Di antaranya, lingkungan eksternal yang memburuk dengan pertumbuhan mandek atau menyusut di ekonomi industri utama seperti Amerika Serikat, kawasan Euro dan Jepang.

Dampaknya, permintaan global melemah sehingga menyebabkan seluruh subregional Asia yang sedang berkembang mengalami perlambatan pertumbuhan. Kondisi ini diperparah dengan upaya banyak negara melakukan kebijakan pencegahan dan penanganan wabah yang membutuhkan dukungan fiskal secara kuat.

Beberapa eksportir komoditas dan minyak seperti yang ada di Asia Tengah, juga akan dilanda penurunan harga komoditas. Harga minyak Brent diperkirakan rata-rata 35 dolar AS per barel tahun ini, turun dari 64 dolar AS per barel pada tahun lalu.

Subregion Asia yang lebih terbuka secara ekonomi seperti Asia Timur dan Tenggara, atau tergantung pada pariwisata seperti Pasifik, akan sangat terpukul. Aktivitas ekonomi di subregion Pasifik diperkirakan berkontraksi sebesar 0,3 persen pada 2020, sebelum pulih menjadi 2,7 persen pada 2021.

ADB memperkirakan, biaya global untuk menangani pandemi Covid-19 di negara berkembang Asia dapat berkisar dari 2,0 triliun dolar AS hingga 4,1 triliun dolar AS. Nilai tersebut setara dengan kehilangan 2,3 persen sampai 4,8 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) global. Perkiraan ini belum menghitungkan biaya perawatan kesehatan mendesak, gangguan pasokan dan potensi gangguan pada sektor keuangan.

Baca Juga


Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Berita Terpopuler