PBB Sebut Serangan Rezim Suriah Targetkan Fasilitas Sipil
Penyelidikan PBB menyebut lima dari enam serangan rezim Suriah menarget sipil.
REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Penyelidikan internal PBB menyatakan sangat mungkin rezim Suriah dan sekutunya melakukan lima dari enam serangan di Suriah barat laut yang menargetkan fasilitas sipil. Hal itu disampaikan Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres pada Senin (6/4) waktu setempat.
Dewan Penyelidikan PBB memutuskan, bahwa serangan terhadap sekolah, rumah sakit, dua pusat perawatan kesehatan, dan pusat penitipan anak kemungkinan besar dilakukan oleh rezim Suriah atau sekutunya.
"Saya akan menekankan dalam hubungan ini bahwa Dewan Penyelidikan bukanlah badan peradilan atau pengadilan, tidak membuat temuan hukum atau mempertimbangkan pertanyaan tentang pertanggungjawaban hukum atau tanggung jawab hukum," tulis Guterres dalam surat yang menyertai ringkasan tersebut, dilansir Anadolu Agency, Selasa (7/4)
Ketika dewan penyelidikan membuat keputusannya, ringkasan Guterres itu tidak secara eksplisit menyebut Rusia, pendukung medan perang utama rezim, dengan nama sebagai kepala pendukung rezim. Rusia memberi rezim Suriah dan sekutunya kekuatan udara yang luas, termasuk misi udara berawak dan tak berawak.
Kelima serangan itu dilakukan oleh pesawat menggunakan amunisi terpandu, bom barel yang dijatuhkan dari pesawat bersayap-putar, atau rudal udara-ke darat. Fasilitas yang dilanda termasuk Sekolah Menengah Martir Akram Ali Ibrahim al-Ahmad, Pusat Perawatan Kesehatan Primer Rakaya, Pusat Perawatan Kesehatan Primer Kafr Nabutha dan Unit Bedah, Rumah Sakit Nasional As-Suqylabiyah, dan Rumah Sakit Bedah Kafr Nobol.
Selain itu, serangan Mei 2019 terhadap sebuah kamp pengungsi Palestina di provinsi Aleppo yang menewaskan 11 orang kemungkinan besar dilakukan oleh oposisi bersenjata Suriah, atau Hayat Tahrir al-Sham yang terkait dengan al-Qaeda. Api darat ke darat seperti roket Grad atau amunisi serupa kemungkinan telah digunakan dalam serangan itu.
Dewan penyelidikan ditugaskan untuk memeriksa enam insiden di zona de-eskalasi Idlib yang disetujui oleh Rusia dan Turki pada 17 September 2018. Dewan menentukan bahwa insiden ketujuh jatuh di luar batas mandatnya. Rezim Suriah tidak menanggapi beberapa permintaan untuk mengeluarkan visa kepada anggota dewan yang mendalami lebih lanjut, sehingga membuat kunjungan ke lokasi menjadi tidak mungkin.