Di Forum G20, Wamenlu RI Peringatkan Risiko Tergerusnya Multilateralisme

Penerapan hukum internasional tak boleh selektif.

Kemenlu
Wamenlu RI Arrmanatha Nasir saat menghadiri G20 Foreign Ministers’ Meeting (FMM) di Johannesburg, Afrika Selatan, Jumat (20/2/2025)
Rep: Kamran Dikarma Red: Satria K Yudha

REPUBLIKA.CO.ID, JOHANNESBURG -- Wakil Menteri Luar Negeri (Wamenlu) RI Arrmanatha Nasir menghadiri G20 Foreign Ministers’ Meeting (FMM) di Johannesburg, Afrika Selatan, Jumat (20/2/2025). Dalam pernyataannya, Arrmanatha atau biasa disapa Tata, memperingatkan para perwakilan negara anggota perihal kian tergerusnya sistem multilateralisme. 


"Multilateralisme terus tergerus, sementara negara-negara yang membangun sistem inisemakin enggan mempertahankannya. Jika tren ini berlanjut, sistem global berisiko gagal," kata Tata seperti dikutip dalam keterangan tertulis yang dirilis Kementerian Luar Negeri (Kemlu), akhir pekan ini.

Dia kemudian menyinggung tentang kegagalan Liga Bangsa-Bangsa yang disebabkan oleh lemahnya penegakan hukum internasional, ketidakmampuan mencegah agresi negara besar, serta kurangnya komitmen dan kepatuhan negara anggota. "Jika kondisi ini dibiarkan, kita berisiko mengalami kegagalan serupa," ujarnya. 

Tata menekankan, multilateralisme tidak boleh sekadar menjadi retorika, tapi harus diwujudkan lewat aksi konkret. Dia menambahkan, prinsip inklusivitas, kesetaraan, solidaritas, dan kemitraan harus menjadi panduan dalam reformasi tata kelola global.

Penerapan hukum internasional, kata Tata, juga tidak boleh selektif, tapi harus ditegakkan secara konsisten. “Jika hukum internasional hanya digunakan ketika menguntungkan pihak tertentu, maka kredibilitasnya akan semakin melemah,” katanya. 

Indonesia menegaskan bahwa G20 harus memainkan peran lebih aktif dalam mendorong reformasi sistem global. “Tantangan global terus berkembang, maka tata kelola global juga harus berkembang,” ucap Tata. 

Tata kemudian menyampaikan bahwa Indonesia siap bekerja sama dengan semua negara guna membangun tatanan global yang lebih adil dan tangguh. “Cost of inaction terlalu besar. Kita harus bergerak maju mendorong kemajuan reformasi sistem multilateralisme untuk menciptakan dunia yang lebih baik bagi semua," ujarnya. 

G20 FMM hari pertama secara khusus membahas dinamika geopolitik terkini. Dalam sesi diskusi tersebut, mayoritas negara anggota G20, termasuk negara undangan, mengangkat berbagai konflik dan instabilitas global. Situasi di Ukraina, Myanmar, Jalur Gaza, dan Korea Utara, termasuk di antara isu yang dibahas. 

Secara umum, negara-negara G20 menyoroti pentingnya penghormatan terhadap hukum internasional dalam menjaga perdamaian dan stabilitas dunia, meningkatnya angka kemiskinan, serta dampak konflik dan situasi geopolitik terhadap pencapaian SDG.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler