Baleg Tetap Buka Ruang Aspirasi Publik untuk Omnibus Law
Baleg mempersilakan publik untuk terlibat dalam pembahasan Omnibus Law.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR Willy Aditya menanggapi penolakan publik terhadap langkah DPR yang tetap membahas Rancangan Undang-undang (RUU) Omnibus Law Cipta Kerja di tengah pandemi Covid-19. Willy memastikan DPR akan tetap membuka ruang aspirasi publik dalam pembahasan RUU Omnibus Law Cipta Kerja.
"(DPR) komitmen menyelesaikannya dan kemudian membuka ruang aspirasi publik seluas-luasnya untuk berdialog," kata Willy kepada Republika.co.id, Selasa (7/4).
Ia mengangap penolakan publik tersebut merupakan hal yang wajar. Ia mempersilakan publik untuk ikut terlibat dalam setiap pembahasan, baik secara fisik maupun virtual.
"Kalau mau dateng fisik, datang fisik. Kalau mau virtual, kita akan virtual. Nggak ada susahnya kok," ujar politikus Nasdem itu.
Anggota Komisi I DPR itu mengungkapkan bahwa saat ini baleg tengah menyusun jadwal pembahasan. Baru setelah itu Baleg menyerahkan ke fraksi untuk dilakukan penyusunan daftar inventarisasi masalah (DIM).
"Habis itu baru kemudian kita akan undang kelompok-kelompok kepentingan baik yang langsung maupun yang sudah bersurat ke baleg kita undang," tuturnya.
Ia meminta publik untuk tidak menghadap-hadapkan niat baik presiden dengan kepentingan sektoral atau golongan. Ia meyakini RUU tersebut dibuat untuk menciptakan lompatan demokrasi ekonomi.
"Kita cari benang merahnya. Kita lihat apa kita dialogkan, apa yang jadi masalahnya kita duduk bersama. Bukan kemudian asal nolak," ungkapnya.
Sebelumnya sejumlah pihak menyayangkan sikap DPR yang tetap merencanakan pembahasan sejumlah rancangan undang-undang (RUU) seperti RUU KUHP dan RUU Omnibus Law Cipta Kerja. Ketua Konstitusi Demokrasi (Kode) Inisiatif Very Junaidi meminta pemerintah untuk segera menarik diri sementara dari pembahasan RUU tersebut di tengah pandemi covid-19.
"Sebaiknya pemerintah segera menarik diri untuk membahas RUU Cipta Kerja dan KUHP dengan melihat situasi yang seperti sekarang. Karena ini bukan hanya soal bagaimana kemudian lahir sebuah undang-undang, tapi bagaimana undang-undang itu juga memang merepresentasikan kehendak publik yang lebih luas," kata Very, Ahad lalu.
Hal senada juga disampaikan peneliti Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Charles Simabura. Charles menilai, jika presiden konsisten dengan kedaruratan seperti yang ia tetapkan beberapa waktu lalu, maka pemerintah seharusnya mengambil sikap untuk menarik diri dulu dari pembahasan.
"Artinya, ini kan bisa terjadi kalau proses legislasi, kemudian pemerintah menyatakan kami pemerintah untuk sementara tidak terlibat," tuturnya.