Gubernur Jabar Usul Diberlakukannya PSBB Klaster Jabodetabek

Gubernur Jabar mengusulkan adanya PSBB klaster Jabodetabek untuk cegah Covid-19

Humas Pemprov Jawa Barat
Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil
Rep: Arie Lukihardianti Red: Bayu Hermawan

REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG -- Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil mengusulkan agar kawasan Bogor, Depok dan Bekasi (Bodebek), masuk ke klaster DKI Jakarta dalam Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Hal itu dikarenakan 70 persen penyebaran Covid-19 secara nasional berada di kawasan Jabodetabek.

Baca Juga


Usulan itu disampaikan Ridwan Kamil dalam rapat terbatas via video conference dengan Wakil Presiden KH Ma'ruf Amin, Selasa (7/4) kemarin. Dalam Ratas, pria yang akrab disapa Emil itu menilai PSBB yang sudah diberlakukan di DKI Jakarta perlu juga mencakup semua wilayah di Bodebek dikarenakan 70 persen persebaran Covid-19 secara nasional berada di kawasan Jabodetabek. Untuk itu, ia mengusulkan namanya  bukan Klaster DKI Jakarta tapi Klaster Jabodetabek. 

"Hampir 70 persebaran persebaran Covid-19  ada di Jabodetabek. Ini mengindikasikan semua terpusat di klaster itu. Maka usul saya tetapkan saja apa yang sudah ditetapkan di DKI Jakarta kepada Kota - Kabupaten Bogor, Kota dan Kabupaten Bekasi, serta Kota Depok," ujar Emil.

Menurutnya, kasus positif yang banyak di kawasan Jabodetabek ditambah Bandung Raya menguatkan indikasi bahwa pola persebaran Covid-19 bersifat urbanitas.  "Semakin ke kota semakin banyak, semakin kabupaten semakin sedikit kasusnya," kata Emil. 

Emil berpendapat, bila hanya DKI Jakarta saja yang menerapkan PSBB hasilnya tidak akan signifikan. Karena mobilisasi warga dari kawasan Bodebek ke Jakarta terbilang tinggi. Lagi pula jika nomenklaturnya klaster, maka tidak bisa lagi berpikir tentang wilayah administrasi pemerintahan. 

"Kita tidak bisa lagi berpikir administrasi kewilayahan," ucapnya.

Emil mengusulkan Kementerian Kesehatan mengambil inisiatif bersama Kepala Gugus Tugas, bahwa keputusan PSBB jangan satu wilayah saja kalau urusannya di klaster Jabodetabek. "Tetapkan oleh Gugus Tugas yang kemudian diusulkan ke Presiden, bahwa PSBB-nya semua disamakan oleh sebuah radius kepadatan," katanya. 

Konsekuensinya, kata Emil, tidak ada lagi mobilisasi manusia antarwilayah di Jabodetabek, terkecuali pergerakan untuk urusan distribusi kebutuhan hidup rakyat. "Kalau itu dijadikan keputusan hari ini atau besok maka semuanya serempak tidak ada lagi pergerakan di wilayah Jabodetabek," ujarnya.

Wakil Presiden RI Ma'ruf Amin pun menyadari kawasan Jabodetabek merupakan episentrum penyebaran Covid-19 di Pulau Jawa. Karenanya perlu langkah strategis untuk menghambat dan menghentikan laju penyebaran virus.

"Saya sudah punya gambaran dan laporan dari Gubernur Jabar di antaranya mengenai pentingnya ada koordinasi antar tiga Gubernur dalam membatasi pergerakan antar wilayah di Jabodetabek dan mengajukan permenkes tentang PSBB dalam rangka percepatan penanganan Covid-19," kata Wapres.

Menurut Ma’ruf, apabila PSBB Klaster Jabodetabek seperti usulan Gubernur Jabar Ridwan Kamil jadi ditetapkan, maka Wapres meminta penguatan koordinasi antara tiga gubernur yakni DKI Jakarta, Jabar, dan Gubernur Banten. "Karena itu penting adanya koordinasi antargubernur dalam implementasi PSBB tersebut," katanya.

Sementara itu, Direktorat Jendral Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kemenkes RI yang juga juru bicara pemerintah dalam penanganan Covid-19 Achmad Yurianto menuturkan, permasalahan utama Covid-19 adalah pembawa penyakit, yaitu mobilisasi manusia. Oleh karena perlu dilakukan pembatasan pergerakan dan aktivitas sosial.

"Jadi basis kita berpikir sebenarnya adalah pembawa penyakit yaitu manusia. Maka kita harus melakukan pembatasan pergerakan manusia," ucap Achmad Yurianto yang akrab disapa Yuri.

Yuri sependapat dengan usulan Gubernur Jawa Ridwan Kamil untuk menjadikan kawasan Jabodetabek sebagai satu klaster PSSB. Pergerakan manusia tidak dapat dibatasi wilayah administrasi pemerintah. 

"Jabodetabek harus dijadikan satu klaster yang kemudian dikelola dengan pendekatan basis epidemologi, sehingga penanganannya sama. Ini yang menjadi penting," katanya.

Yuri melihat pergerakan dari wilayah penyangga ke Ibu Kota Negara cukup tinggi. Institusi perkantoran belum kompak menerapkan sistem kerja dari rumah. "Kami melihat masih belum semua institusi atau perkantoran yang menetapkan work from home. Ini yang menjadi masalah," katanya. 

 

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Berita Terpopuler