Milisi Libya Serang Rumah Sakit yang Rawat Pasien Corona

PBB mengutuk serangan terhadap rumah sakit yang merawat pasien corona di Libya.

AP Photo/Hussein Malla
Anggota gerilyawan antipemerintah memegang senjata antiserangan udara di Libya, ilustrasi
Rep: Fergi Nadira Red: Nur Aini

REPUBLIKA.CO.ID, TRIPOLI -- Milisi bersenjata pasukan Khalifa Haftar menyerang gudang medis milik satu rumah sakit di ibu kota Libya, Tripoli pada Ahad (12/4) waktu setempat. Rumah sakit tersebut digunakan merawat pasien dengan virus corona tipe baru atau Covid-19.

Baca Juga


"Serangan menargetkan gudang Rumah Sakit Al-Khadra di al-Swani di Tripoli dengan rudal Gran," kata pernyataan oleh Pemerintah Kesepakatan Nasional (GNA) yang diakui PBB dikutip Aljazirah, Senin (13/4).

Pekan lalu, serangan juga terjadi. PBB mengutuk penembakan terhadap rumah sakit yang melukai tiga warga sipil. Menurut PBB serangan itu merupakan pelanggaran yang jelas terhadap hukum internasional.

Negara Afrika Utara itu sejauh ini telah melaporkan 25 kasus virus corona dengan satu kematian. "Mengingat kurangnya kesiapan, saya kini menganggap Libya tidak dalam posisi untuk menghadapi virus ini," ujar kepala Pusat Pengendalian Penyakit Nasional (NCDC) Libya Badereldine al-Najar dalam wawancara dengan Reuters Maret lalu.

Pekan lalu, pemerintah Libya mengumumkan pembebasan lebih dari 450 tahanan sebagai bagian dari langkah-langkah pengekangan penyebaran virus corona. Para tahanan dalam penahanan pra-persidangan atau memiliki kualifikasi untuk pembebasan bersyarat.

Libya memberlakukan jam malam nasional dari pukul 14.00 hingga pukul 07.00. Pemerintah GNA juga melarang perjalanan antarkota untuk menghambat penularan virus.

Libya adalah di antara 27 negara paling rentan terhadap wabah yang muncul. Negara itu juga dianggap sebagai negara berisiko tinggi bagi Covid-19 oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).

Wakil kepala sub-delegasi untuk Palang Merah (ICRC) di Tripoli Maria Carolina mengatakan, dokter dan responden pertama yang perlu dilatih tentang pencegahan infeksi dan dilengkapi alat pelindung diri, secara rutin dipanggil kembali ke garis depan untuk mengobati luka-luka akibat perang. Petugas kesehatan masyarakat setempat juga sudah kelebihan beban.

"Bahkan sistem perawatan kesehatan paling maju di negara-negara yang sangat stabil dan kaya sumber daya telah berjuang untuk mengatasinya. Wabah Covid-19 selanjutnya akan memiliki dampak yang sangat buruk pada staf medis di Libya," ujar Carolina.

Bulan lalu, Human Rights Watch mengatakan sistem perawatan kesehatan Libya dihantam oleh konflik bersenjata yang terputus-putus dan perpecahan politik sejak 2011. Mereka kemudain memperingatkan bahwa serangan-serangan itu tidak akan mampu mengatasi sejumlah besar pasien jika infeksi menyebar.

Sejak 2014, Libya terpecah antara dua pemerintahan saingan. Pertama GNA yang dipimpin oleh Perdana Menteri Fayez al-Sarraj yang berbasis di Tripoli. Sementara Dewan Perwakilan Rakyat yang bersekutu dengan komandan militer Haftar dan Tentara Nasional Libya (LNA) berbasis di timur negara.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Berita Terpopuler