Makna Substantif Puasa Ramadhan Menurut Prof Haedar Nashir

Puasa Ramadhan tak sekadar bermakna ritual normatif.

Dokumen.
Ketua Umum PP Muhammadiyah, Prof Haedar Nashir, menyatakan makna puasa Ramadhan sangat substantif.
Rep: Imas Damayanti Red: Nashih Nashrullah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Ketua Umum Pengurus Pusat (PP) Muhammadiyah, Haedar Nashir, mengajak umat Muslim untuk memaknai puasa Ramadhan secara substantif. 

Baca Juga


Dengan berpuasa, sudah seharusnya umat Islam mausk ke dalam hal-hal substantif sehingga dapat melahirkan derajat takwa sebagaimana risalah Alquran.

Allah SWT berfirman dalam surat Al Baqarah ayat 183 berbunyi:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

“Ya ayyuhalladzina amanu, kutiba alaikumus shiyam kama kutiba alal-ladzina min qablikum la’allakum tattaqun.” 

Yang artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana telah diwajibkan kepada orang-orang sebelum kamu (untuk berpuasa). (Berpuasa) agar kalian bertakwa.” 

Dalam ayat tersebut, Haedar menjelaskan, puasa tidak boleh hanya diartikan sebagai menahan diri dari nafsu makan, minum, serta biologis semata. Namun demikian, dia menyebut puasa juga harus dilakukan untuk mengasah diri dengan tujuan takwa.

“Kalau puasanya hanya yang menahan makan dan minum, ini bahasa Imam Al Ghazali disebut puasa awam. Harusnya dengan berpuasa, kita dapat mendalami akal pikiran serta hati kita untuk menuju ketakwaan,” kata Haedar dalam live streaming Pengajian Menyambut Ramadhan Universitas Muhammadiyah Malang, Kamis (23/4).

Dia menjelaskan jika para ulama itu menyebut puasa sebagai al-imsak yakni menahan makan, minum, dan biologis, namun ulama juga menyebut bahwa makna puasa itu adalah bagaimana manusia dapat mengendalikan nafsu yang berwatak duniawi.

Manusia, lanjutnya, diberi dua sisi dalam hidupnya. Yang pertama adalah nafsu yang cenderung pada takwa, kedua nafsu yang cenderung pada fujuroh (yang menyalahi syariat). Untuk itu, puasa tidak dapat membunuh hawa nafsu manusia yang fujuroh, namun demikian nafsu tersebut bisa dijinakkan.

Adapun makan dan minum merupakan simbol duniawi. Namun tak bisa dipungkiri, kata dia, bahwa manusia membutuhkan dunia. 

“Maka, dunia itu disebut adna atau sesuatu yang dekat. Akan tetapi, agama mengajarkan bagaimana meraihnya dan memanfaatkannya, tapi tidak boleh berlebihan,” ungkapnya.

Di sisi lain, dia melanjutkan, puasa Ramadhan kali ini memang berbeda dari Ramadhan sebelum-sebelumnya. Pandemi virus corona jenis baru (Covid-19) memaksa masyarakat dan umat Islam untuk beribadah di rumah saja.

Untuk menyikapinya, dia mengimbau umat Muslim untuk mengambil sikap tawasuth (moderat). Di tengah kondisi pandemi ini, dia mengajak umat Muslim untuk menjalani ibadah Ramadhan dengan ketakwaan serta suka cita.

Beribadah di rumah selama Ramadhan dipilih karena adanya kondisi darurat. Dalam konteks Islam, dia melanjutkan, umat Islam diajarkan bagaimana agama memberikan jawaban dalam menghadapi problem-problem aktual.

“Misalnya kita tahu bahwa Nabi Muhammad SAW mempunyai konsep karantina. Jika ada wabah, kita (diperintahkan Nabi) untuk janan datang ke sana, dan orang-orang yang di tempat wabah jangan keluar. Orang sakit jangan dicampur dengan orang sehat, dan seterusnya,” ungkap dia.

Beribadah di rumah juga dinilai dapat dijadikan hikmah bagi umat Muslim untuk memantapkan keimanan sebagaimana layaknya agama menganjurkan umatnya dalam menyikapi musibah.

Rektor Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Fauzan, mengatakan kehadiran Ramadhan merupakan tamu mulia setiap tahunnya. Namun demikian alangkah baiknya kedatangan Ramadhan setiap tahunnya itu harus dimaknai secara komplit oleh umat Muslim.

“Derajat ketakwaan harus mampu diimplementasikan kepada kita,” ungkapnya. 

Dalam lingkup sosial, kata dia, ketakwaan itu harus tercermin dengan berbuahnya keimanan. Untuk itu dia mengajak seluruh keluarga besar UMM untuk bermuhasabah menjadikan Ramadhan kali ini sebagai momen mengevaluasi diri.

Dia berharap Ramadhan kali ini dapat dijadikan untuk mengendalikan dir dan mencoba menjadikan iman sebagai kontrol dalam kehidupan. Indikator yang paling sederhana yang bisa dilihat, kata dia, adalah perubahan perilaku yang tidak baik menjadi baik. 

“Ketika orang bisa berperilaku dengan baik, akhlakul karimah, artinya orang itu hidupnya dikontrol dengan keimanan,” pungkasnya.

 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler