Sabda Rasulullah Soal Pemimpin yang tak Cium Bau Surga
Rasulullah SAW menegaskan adanya golongan yang tak cium bau surga.
REPUBLIKA.CO.ID, Syariat Islam (agama) menuntun para pemimpin untuk jujur, amanah, dan berani menyuarakan kebenaran dan keadilan.
Tidak memihak kepada golongan apa pun, merakyat dan mengayomi, senantiasa berjuang dan memperjuangkan hak-hak atau aspirasi rakyat, bekerja dengan hati dan penuh tanggung jawab, siap dengan kondisi dan dalam keadaan apa pun, serta rela mengerahkan waktu, materi, dan tenaganya.
Dikisahkan Ma'qil bin Yasar ra ketika sakit dijenguk oleh Gubernur Ubaidillah bin Ziyad. Maka, Ma'qil berkata, ''Aku akan menyampaikan kepadamu suatu hadis yang telah aku dengar dari Rasulullah SAW. Beliau bersabda, siapa yang diamanati Allah untuk memimpin rakyat, lalu ia tidak memimpinnya dengan tuntunan yang baik, ia tidak akan dapat merasakan bau surga.'' (HR Bukhari dan Muslim).
Hadits di atas menjelaskan bahwa di akhirat kelak ada manusia yang tidak dapat mencium bau surga (bila tidak dapat merasakan bau surga maka pasti masuk neraka), yaitu seorang pemimpin yang diberikan amanat oleh rakyat, tetapi tidak menjalankan amanat tersebut secara baik dan sesuai dengan tuntunan agama.
Pemimpin yang menjalankan amanat rakyat berarti ada iman dalam dirinya, sehingga kemudian dapat memberikan rasa aman kepada rakyatnya. Sebaliknya, jika pemimpin sudah tidak amanah (berkhianat), yaitu melakukan tindakan-tindakan yang dapat merugikan rakyat, seperti korupsi, memakan harta yang bukan haknya atau menyuap dan sebagainya, hilanglah iman dalam dirinya, kemudian rakyat menjadi tidak aman dan menderita.
Diriwayatkan dari Hudzaifah ra, ''Rasulullah SAW telah menceritakan kepada kami dua hadis dan aku telah melihat yang satu dan sedang menanti yang kedua. Rasulullah SAW menceritakan bahwa amanat (iman) pada mulanya turun dalam lubuk hati manusia, lalu mereka mengerti Alquran dan mengetahui sunah Rasul.''
''Kemudian, Rasulullah SAW menceritakan tercabutnya amanat (iman). Ketika orang sedang tidur, tercabutlah amanat dari hatinya, sehingga tinggal bekasnya, seperti bintik yang hampir hilang, kemudian tidur pulas, tercabut pula, sehingga tinggal bekasnya bagaikan ''kapalan'' (kulit yang mengeras bekas bekerja). Bagaikan bara api yang engkau injak di bawah telapak kaki, sehingga membengkak maka tampaknya membesar, tetapi tidak ada apa-apanya.
Maka, esok harinya orang-orang berjual beli dan sudah tidak terdapat orang yang amanat/dapat dipercaya. Sehingga, mungkin disebut-sebut ada dari suku Bani Fulan seorang yang amanat (dapat dipercaya), sehingga dipuji-puji: Alangkah pandainya, alangkah ramahnya, alangkah baiknya, padahal di dalam hatinya tidak ada seberat zarah dari iman.'' (Bukhari, Muslim).