Putra Aktor 'Papa Minta Saham' Tersangka Korupsi Minyak Mentah Rp 193 triliun

Putra Riza Chalid ditetapkan tersangka selaku broker impor minyak mentah.

Bambang Noroyono/Republika
Tersangka Muhammad Kerry Andrianto (MKAR) mengenakan rompi tahanan di Gedung Bundar, Kejaksaan Agung, Jakarta, Selasa (25/2/2025).
Rep: Bambang Noroyono Red: Fitriyan Zamzami

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA — Kejaksaan Agung (Kejagung) mengumumkan tujuh tersangka dalam penyidikan korupsi ekspor-impor minyak mentah dan produk kilang di PT Pertamina. Satu dari tujuh para tersangka tersebut adalah Muhammad Kerry Andrianto Riza (MKAR) yang diketahui adalah putra dari pengusaha bisnis minyak Indonesia, Mohammad Riza Chalid.

Baca Juga


Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Abdul Qohar mengatakan, MKAR ditetapkan tersangka atas perannya selaku DMUT atau broker impor minyak mentah, dan produk kilang. “Tersangka MKAR selaku benefit official atau pemilik manfaat atas keberadaan PT Navigator Khatulistiwa,” bagitu kata Qohar di Kejagung, Jakarta, Senin (24/2/2025) malam.

Saat MKAR ditetapkan tersangka, dan akan digelandang ke sel tahanan oleh tim penyidikan di Jampidsus, informasi dari tim penyidikan yang disampaikan kepada Republika melalui pesan singkat, memastikan MKAR adalah putra dari Riza Chalid. “Kerry putranya Riza CHalid,” kata sumber tersebut melalui WhatsApps, Senin (24/2/2025) malam. Nama Riza Chalid malang melintang sejak zaman Order Baru dalam bisnis-bisnis elite di pemerintahan. Selain minyak dan gas, namanya juga sempat dikenal sebagai broker alat-alat pertahanan.

Nama Riza Chalid pernah muncul pada 2015-2016 dalam kasus ‘Papa Minta Saham’ yang melibatkan Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) saat itu, Setya Novanto. Kasus tersebut terkait dengan dugaan bagi-bagi saham dalam perpanjangan perizinan perusahaan pertambangan emas terbesar di dunia, yang beroperasi di Papua, PT Freeport Indonesia. Adapun kasus yang menjerat MKAR alias Kerry dalam perkara korupsi di PT Pertamina kali ini terkait dengan perannya sebagai broker impor minyak dan produk kilangan yang dilakukan oleh PT Pertamina Patra Niaga.

Abdul Qohar mengatakan, salah-satu keterlibatan Kerry dalam kasus tersebut terkait dengan mark-up atau penggelembungan biaya yang dilakukan oleh para tersangka kalangan penyelenggara PT Pertamina Patra Niaga dalam kontrak pengapalan, dan pengiriman minyak mentah, dan produk kilangan impor 2018-2023. Penggelembungan biaya tersebut kata Qohar membuat negara mengeluarkan fee belasan persen yang dinilai menguntungkan MKAR.

“Pengadaan impor minyak mentah dan impor produk kilang diperoleh fakta adanya mark-up kontrak shipping, pengiriman yang dilakukan oleh tersangka YF selaku Direktur Utama PT Pertamina Internasional Shipping sehinga negara mengeluarkan fee sebesar 13 sampai dengan 15 persen secara melawan hukum sehingga tersangka MKAR mendapatkan keuntungan dari transaksi tersebut,” begitu kata Qohar. MKAR, bersama-sama enam tersangka lainnya, kata Qohar juga melakukan permufakatan jahat dengan para penyelenggara negara dan broker-broker lain dalam penentuan harga minyak mentah dan produk kilang yang akan diimpor, sebelum tender dilakukan.


Selain MKAR, dalam kasus ini enam tersangka lainnya juga dilakukan penahanan pada Senin (24/2/2025). Mereka dia antaranya adalah, Riva Siahaan (RS) selaku Direktur Utama (Dirut) PT Pertamina Patra Niaga. Sani Dinar Saifuddin (SDS) ditetapkan tersangka selaku Direktur Optimasi Feedstock and Product PT Kilang Pertamina International. Serta Yoki Firnandi (YF) tersangka selaku Dirut PT Pertamina Shipping. Juga Agus Purwono (AP) yang dijerat tersangka atas perannya selaku Vice President Feedstock Management PT Kilang Pertamina International. 

Lainnya adalah Dimas Werhaspati (DW) tersangka selaku Komisaris PT Navigator Khatulistiwa sekaligus Komisaris PT Jenggala Maritim. Terakhir adalah Gading Ramadhan Joedo (GRJ) yang ditetapkan tersangka atas perannya sebagai Komisaris PT Jenggala Maritim sekaligus Dirut PT Orbit Terminal Merak. Kejagung juga mengumumkan nilai kerugian keuangan negara dalam kasus ini mencapai Rp 193,7 triliun sepanjang 2018-2023.

Kejaksaan Agung (Kejagung), pada Senin (24/2/2024) mengumumkan tujuh tersangka dari hasil penyidikan kasus tersebut. Para tersangka tersebut, empat di antaranya adalah petinggi anak usaha di PT Pertamina. Sedangkan tiga lainnya adalah para tersangka swasta.

Kepala Pusat Penerangan dan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung Harli Siregar menerangkan, angka kerugian negara Rp 193,7 triliun tersebut merupakan hasil sementara penghitungan dari tim penyidikan pada Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus).

“Perlu diketahui bahwa nilai kerugian yang disebut (Rp) 193,7 T (triliun) itu baru dari hasil penghitungan tim penyidikan. Hasil akhirnya, nanti kita masih menunggu penghitungan resmi dari lembaga auditor negara (BPKP atau BPK),” ujar Harli di Kejagung, Senin (25/2/2025).

Direktur Penyidikan Jampidsus Abdul Qohar menerangkan, angka kerugian keuangan negara Rp 193,7 triliun tersebut memang hasil dari penghitungan tim penyidikannya. Kata dia, nilai tersebut berdasarkan estimasi kerugian  dari dampak ragam perbuatan permufakatan dan persekongkolan jahat, dan tindak pidana korupsi yang dilakukan tujuh tersangka tersebut. Mulai dari permufakatan dan persekongkolan jahat untuk menolak menerima pembelian minyak mentah dan produk kilang dari hasil eksplorasi kontraktor kontrak kerjasama (KKKS).

Sampai pada persekongkolan para tersangka untuk mengatur dan menentukan broker pemenang tender untuk impor minyak mentah dan produk kilang. Juga perbuatan melawan hukum lainnya dalam hal pembayaran produk kilang impor RON 90 dengan harga RON 92.


Juga terkait dengan korupsi berupa mark-up dalam penentuan harga pengapalan atau shipping minyak mentah, dan produk kilang impor. Termasuk kata Qohar, kerugian negara yang langsung dibebankan kepada APBN lewat kompensasi dan subsidi akibat tingginya harga bahan bakar minyak (BBM) dari produk impor tersebut.

“Akibat adanya perbuatan-perbuatan melawan hukum tersebut, telah mengakibatkan kerugian keuangan negara sekitar Rp 193,7 triliun,” ujar Qohar. Dari angka tersebut, kata Qohar ada lima kategori kerugian keuangan negara.

Pertama, kerugian negara ekspor minyak mentah dalam negeri sekitar Rp 35 triliun. Kerugian negara impor minyak mentah melalui broker atau DMUT senilai Rp 2,7 triliun. Ketiga, kerugian keuangan negara impor BBM melalui broker senilai Rp 9 triliun.

Paling besar angka kerugian keuangan negara dalam pemberian kompensasi Rp 126 triliun. Dan terakhir kerugian keuangan negara dalam pemberian subsidi sebesar Rp 21 triliun. Pada Senin (25/2/2025) dari penyidikan sementara, Jampidsus mengumumkan tujuh orang sebagai tersangka.

Dirut PT Pertamina Patra Niaga Riva Siahaan (RS) saat dibawa ke sel tahanan oleh penyidik Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus-Kejaksaan Agung (Jampidsus Kejagung) pada Selasa (25/2/2025). RS Ditetapkan tersangka korupsi ekspor-impor minyak mentah dan produk kilang PT Pertamina 2018-2023. - (Bambang Noroyono)

Para tersangka tersebut, pun sejak diumumkan status hukumnya langsung dijebloskan ke sel tahanan terpisah. Para tersangka tersebut salah-satu di antaranya, adalah Riva Siahaan (RS) selaku Direktur Utama (Dirut) PT Pertamina Patra Niaga.

Sani Dinar Saifuddin (SDS) ditetapkan tersangka selaku Direktur Optimasi Feedstock and Product PT Kilang Pertamina International. Serta Yoki Firnandi (YF) tersangka selaku Dirut PT Pertamina Shipping. Juga Agus Purwono (AP) yang dijerat tersangka atas perannya selaku Vice President Feedstock Management PT Kilang Pertamina International.

Lainnya adalah, Muhammad Kerry Andrianto Riza (MKAR) selaku benefit official atau pemilik manfaat dari PT Navigator Khatulistiwa, Dimas Werhaspati (DW) tersangka selaku Komisaris PT Navigator Khatulistiwa sekaligus Komisaris PT Jenggala Maritim. Terakhir adalah Gading Ramadhan Joedo (GRJ) yang ditetapkan tersangka atas perannya sebagai Komisaris PT Jenggala Maritim sekaligus Dirut PT Orbit Terminal Merak.


Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Berita Terpopuler