HJ De Graaf, SH Mintardja: Runtuhnya Kerajaan Islam Demak
Kisah runtuhnya kerajaan Demak.
REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Muhammad Subarkah, Jurnalis Republika
Selama ini khalayak luas belum banyak tahu seperti apa kiranya runtuhnya kerajaan Islam Demak secara lebih. otentik. Masyarakat Jawa misalnya lebih banyak kenal sejarah eksistensi dan kemunduran Demak hanya dari cerita oral mulut ke mulut.Di Jawa lazim pada pentas teater tradisonal yang bernama Kethoprak. Alhasil, kisah ini pun diturutkan layaknya hikayat atau legenda.
Memang pada tahun 1970-an ada cerita bersambung di Koran Kedaulatan Rakat Jogjakarta yang ditulis SH Mintardja. Namun kisahnya, lagi-lagi mirip sekedar hiburan penggembira hari seperti cerita serial komik 'strip' silat para pendekar China saat itu juga laris, yakni karya Asmaran Kho Ping Hoe.
SH Mintardja sendiri memang dikenal banyak yang menulis soal cerita yang berlatar belakang kerajaan di Jawa misalnya ‘Pelangi Di atas Singasari’, 'Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang' (cerita suksesi di awal kerajaan Mapahit. Untuk kisah berlatar Kerajaan Demak (juga terkait Pajang dan Mataram) dia menulis kisah ‘Naga ‘Sasra Sabuk Inten’ dan ‘Api Di Bukit Menoreh’.
Khusus untuk dua karyanya terakhir menjadi sangat legendaris. SH Mintardja berhasil mengeksiskan nama tokoh cerita rekaannya seperti Mahisa Jenar untuk menyebut sosok pahlawan yang kemudian kini dipakai sebagai identitas klub sepakbola di Semarang. Atau nama lain yang mirip yang saat ini mulai muncul lagi, seperti sosok Sedah Mirah dan Lembah Manah.
Bahkan, lebih khusus lagi untuk cerita ‘Api Di Bukit Menoreh’ kisah yang ditulis secara serial di Koran ‘Kedaulatan Rakyat’ (KR) ini sempat menjadi booming. Bahkan eksistensi Koran Jogja ini kerap disandingkan dengan keberadaan cerita tersebut karena dimuat secara setiap hari hingga bertahun-tahun atau mencapai ribuan serial.
Saking hebatnya, banyak para tetua di Jogjakarta menceritakan, kala itu dia hanya beli atau berlangganan Koran itu karena ingin membaca kelanjutan kisah rekaan SH Mintardja, Api Di Bukit Menoreh’ tersebut setiap harinya. Isi berita di koran bagi mereka tak begitu penting.
Maka, tak heran kala itu lazim terlihat orang berdiri berkerumun di depan kotak kaca yang di depan tempat pengumuman publik yang ada di kota itu, hanya sekedar secara bergantian untuk membaca kisah itu secara gratis melalui lembaran Koran ‘KR’ yang ditempel.
Tak hanya rakyat biasa, Raja Jogjakarta saat itu pun ikut terkesan dengan kisah guratan SH Mintardja. Dalam sebuah berita di 'KR' pada masa itu, Sultan mengakui sebagai penggemar berat serial ‘Api Di Bukit Menoreh’. Menurutnya, kisah itu bisa dengan cermat, runtut, dan apik menjelaskan perpindahan kekuasaan dari Demak ke Pajang, dari Pajang ke Mataram.
Lalu bagaimana soal runtuhnya kerajaan Islam Demak versi sejarawan DR HJ De Graaf. Kalangan peneliti sejarah pasti tahu bahwa sosok ini bukan main-main atau sangat penting dalam penulisan sejarah, khusunya sejarah Jawa.
Bagi sejarawan UI, DR Didik Pradjoko, menyebut peran De Graaf sangat luar biasa.’’Berkat jasa dari penelitiannya sejarah Jawa menjadi sangat jelas terliha. Istilahnya, terang benderang.”
Keterangan foto: Peta kota Demak dalam arsip Belanda (kredir foto:gahetna.nl)
Dalam buku karya De Graaf yang bertajuk ‘Awal Kebangkitan Mataram’ yang baru diterbitkan kembali oleh ‘Penerbit Mata Bangsa’ Yogyakarta kisah runtuhnya kerajaan Mataram seperti ini:
Menurut De Graaf, baik dalam ‘Babad Tanah Djawi’ dan ‘Serat Kanda’ berita tentang tentang tidak ada yang bisa dianggap penting. Hanya ‘Di Babad Sangkala’ yang memberitakannya soal runtuhnya kerajaan yang terjadi sekira tahun 1510: “Rusake nagri Demak salungane Dipati tilar praja, angambang ing sagara”.
Jadi di situ diceritakan kepergian Dipati (Demak) melalui laut. Untuk tahun itu juga Babad Momana mengisahkan yang singkat dan tegas: sirna kitha Demak, sareng Dipati Demak dipun Bucal: Kota Demak hilang dan Adipati Demak dibuang. Raffles menulis: Pada tahun 1510 (tahun Jawa) atau 1588 (tahun Masehi), Demak hancur ketia para pemimpin dan rakyat naik kapal dan berlayar. Hanya sejarawan Hagemen (disebut De Graaf jarang tanpa salah), menentukan peristiwa ini terjad pada tahun 1590 M.
Maka, bila tahun itu 1588 M benar, maka hancurnya Demak terjadi agak lebih cepat setelah adanya petualangan Raja Demak ke Pajang. Ini karena bagaimanapun penghancuran Demak terjadi paling sedikit beberapa tahun sebelum ketangan orang Belanda, yakni pada tahun 1596 M.
Dalam catatan Belanda diberitakan:”Dauma merupakan sebuah kota dengan tembok yang sangat kuat. Di sana kaisar tersebut (yaitu dari Mataram) masih dipandang sebagai raja.” Jadi seorang raja Demak yang merdeka sudah lama tak didengar lagi: oramg Mataram, yang ketika itu tampak mengalami kemunduran sebentar, masih berkuasa di sana, mungkin malah sejah beberapa tahun sebelumnya.
Di antara mereka yang harus melarikan dii dari Demak ada seseorang yang bernama Pangeran Mas, yang pada 1 Juli 1596 M muncul di Banten. Orang Portugis menamakan Raja D’auma (Raja Demak), sehingga bagaimanapun seharusnya termasuk Dinasti demak. Menurut ‘Sedjarah Banten’ ia adalah anggota keluarga Sultan Demak.
Sebelum tiba di Banten ia mengunjungi banyak daerah. Orang Portugis bahkan memandangnya ia sebagai kaisar, karena ayahnya memerintah atas kebanyakan raja di Jawa. Jadi, mungkin ini salah seorang putra Tranggana, mungkin juga putra Adipati Demak. Kemungkinan bahwa dia adalah putra Adipati Demak dianggap yang paling benar.
Karena ia pernah tinggal di Malaka, jajahan Portugis, dan ia berbaik hati kepada orang Portugis, maka raja-raja Jawa tak mau lagi mengakuinya. Walaupun demikian, di mana-mana dia masih diterima dengan baik dan terhormat, dan raja-raja pun bila berbicara dengannya selalu dengan sikap hormat. Dengan ditemani dua orang putranya (seorang di antaranya berusia 20 tahun), mengunjungi kapal-kapal Belanda yang dipimpin oleh Houtman dan De Keyzer.
Orang Inggris juga mengenalnya. Residen Scot di Banten menamakannya ‘Kaisar di Demak’ dan bercerita bahwa sewaktu berlayar di Bantam ke suatu kota di pantai yang lain, pada bulan Noveber 1604 M ia dibunuh dengan keris oleh salah seorang putranya di tempat tidur. Konon karena tidak lama sebelumnya, karena kelalimannya, ia diturunkan oleh raja-raja di sekelilingnya (Ini menurut penelitian sejarawan Husein Djajadiningrat).