Buya Hamka: Giri Pusat Agama Islam yang Pertama di Jawa
Giri Pusat Agama yang Pertama Islam di Jawa
REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Prof DR Buya Hamka, Ulama Penulis Tafsir Al Azhar*
Tidak berapa belas kilometer saja dari kota Surabaya, terdapatlah Bukit Giri. Disana indah benar pandangan ke laut, dan angin sepoi-sepoi lautan mengelus-elus muka kita setelah kita susah payah mendaki. Disanalah berkubur seorang diantara ”Wali Sanga”, Raden Paku, yang lebih masyhur dengan gelar Sunan Giri, putra dari Maulana Ishak, teman Maulana Malik Ibrahim, penyiar-penyiar Islam yang pertama di tanah Jawa.
Oleh karena ayahnya Kembali ke Pasai dan lama belum Kembali ke Jawa, Raden Paku diangkat sebagai anak oleh seorang perempuan kaya: Nyi Gede Maloka.
Setelah besar, dia pergi mempelajari agama Islam ke Ngampel, Bersama-sama dengan putra Raden Rahmat (Sunan Ngampel) bernama Makhdum Ibrahim, yang kemudian lebih terkenal dengan sebutan Sunan Bonang.
Di antara 9 wali penyiar Islam di tanah Jawa, kedua beliau inilah yang lebih dalam pengetahuannya tentang agama Islam. Setelah Sunan Ngampel melihat kedua anak muda ini ada harapan menjadi ulama, mereka disuruh berangkat ke luar Jawa, naik haji ke Makkah. Tetapi mereka singgah lebih dahulu di Pasai, Aceh, menuntut ilmu kepada ulama di sana. Dan di sana pula, Raden Paku berjumpa Kembali dengan ayahnya.
- Keterangan: Batu Nisan Maulana Malik Ibrahim, seorang suci Muslim Jawa, di Gresik dengan angka tahun 1419.
Ilmu yang dipandang menjadi inti segala ilmu pada waktu itu, atau yang disebut “ilmu sejati” ialah ilmu Ketuhanan yang menurut ajaran lebih dikenal dengan tasawuf. Banyak ulama keturunan India dan Persia membuka pengajian di Pasai di waktu itu. Sehingga ulama-ulama di Malaka bila menemukan soal-soal yang sulit, bertanya juga ke Pasai.
Setelah kedua pemuda itu, Makhdum Ibrahim dan Raden Paku mendapat ijazah dari guru, mereka pun kembali ke tanah Jawa. Diantara mereka berdua, Raden Paku yang berhasil mendapat ”ilmu ladunni”, artinya ilmu yang langsung diterima dari Tuhan, sehingga gurunya di Pasai memberinya nama yang tinggi, yaitu ”Ainul Yaqin”
Sebab itu, siasat mereka menyebarkan Islam pun berjalan menurut bakat masing-masing. Sunan Bonang memasukkan pengaruh Islam ke dalam kalangan bangsawan, ke Keraton Majapahit, dan membuat tempat berkumpul murid-muridnya di Demak. Sedang Syekh ”Ainul Yaqin” mengadakan tempat berkumpul di Giri, terdiri dari “orang kecil”. Jika Sunan Bonang menanamkan pengaruh ke dalam, maka Sunan Giri selalu mengirim utusan ke luar Jawa. Terdiri dari pelajar, saudagar dan nelayan. Dari Pulau Madura sampai Bawean dan Kangean, bahkan sampai ke Ternate dan Haruku.
Siasat Bonang memberi didikan Islam kepada Raden Patah, Putra Raja Majapahit dan terlebih dahulu menyediakan Demak (Bintoro) untuk menegakkan Negara Islam yang pertama, tampak berat kepada politis. Sementara siasat Sunan Giri mengajarkan agama Islam dan mengirimkan mubalig ke mana-mana adalah siasat mendekati masyarakat.
Sunan Bonang berhasil mendirikan Kerajaan Demak. Tetapi harapannya agar Demak menjadi pusat Islam selama-lamanya tidak berhasil. Setelah naik hanya tiga orang raja (Raden Patah, Dipati Unus dan Pangeran Terenggano), dirampas oleh Adiwijoyo Adipati Pajang (1546). Dan dari Pajang dirampas pula oleh Ki Gede Pamanahan dan dipindahkan ke Mataram, dan sampai disana banyak ajaran Islam yang dicampur aduk dengan ajaran Hindu dan Budha.
Tetapi kedudukan Giri tetap teguh sebagai pusat keagamaan. Anak-cucu Sunan Giri mempertahankan Giri sebagai pusat agama, sampai saat Mas Rangsang hendak memakai gelar Sultan-kota lantikan dari Giri. Dan kemudian setelah dilihatnya Keislaman Mataram telah banyak berubah, Sunan Giri membantu Adipati Surabaya dan adipati-adipati Madura berontak melawan Mataram (1615).
Tahun 1625 peperangan itu masih berlangsung. Adipati-adipati Jawa Timur melawan Mataram, dan Sunan Giri tetap sebagai pelopor. Tetapi perlawanan itu kalah, Sunan Giri tertawan dan dibawa ke Mataram. Kemudian diantarkan pulang ke Giri Kembali, dan diturunkan gelar kebesarannya dari Sunan menjadi Panembahan.
Tetapi setelah Sultan Agung wafat dan digantikan oleh putranya Amangkurat I, Trunojoyo berontak pula melawan sultan Amangkurat I yang dibantu oleh Kompeni. Trunojoyo dibantu oleh Karaeng Galesong dari Makassar (1675). Trunojoyo diakui sebagai kepala Perang Sabil. Keturunan-keturunan ulama Giri pun aktif membantu perlawanan itu.
Tidaklah heran, jika Trunojoyo dapat dikepung di lereng utara Gunung Kelud dan dapat ditawan oleh Kapiten Jonker (Orang Ambon!) dan dihukum bunuh (dengan ditikam keris) oleh Amangkurat II (27 Desember 1679), maka yang langsung diserang secara besar-besaran oleh tentara Belanda dan Mataram ialah Giri! Sebab, Giri rupanya menjadi sumber perlawanan yang tidak putus-putusnya dari Jawa Timur, Pangeran Giri, keturunan yang paling akhir dari Syekh ‘Ainul Yaqin’, Raden Paku, ditahan dan dihukum mati pula. Keris kebesaran Giri yang bersejarah, yang telah turut mengalahkan Majapahit bertahun-tahun lamanya ditahan di Mataram. Sejak itu Giri tidak bangun lagi!
Setelah itu, untuk menghilangkan anasir-anasir yang berbahaya diantara 5.000 sampai 6.000 kaum kyai dan santri, dihukum bunuh di muka umum, agar orang tidak lagi menyebut-nyebut agama Islam yang bersih dan tauhid yang khalis! Dan semuanya itu dilakukan seketika pengaruh Belanda mulai tertancap dalam Kerajaan Mataram.
Demikianlah kisah pendek dari Bukit Giri, di dekat Gresik, yang di zaman sekarangpun menjadi tempat yang penuh kenang-kenangan dan indah dihembus angin laut.
------------
*Dikutip dari buku karya Prof DR Buya Hamka: “Dari Perbendaharaan Lama”. Buku ini berisi kumpulan tulisan Buya Hamka di Majalah Abadi antara tahun 1955 sampai 1960.