May Day 2020: Tahun Kelam Buruh Terdampak Pandemi

Hari Buruh Internasional tahun ini diperingati lewat aksi virtual di media sosial.

ANTARA/fauzan
Seorang buruh menggelar aksi unjuk rasa di depan pabriknya di Benda, Kota Tangerang, Banten, Jumat (1/5/2020). Dalam aksi untuk memperingati Hari Buruh Internasional itu, massa menolak RUU Omnibus Law serta meminta pemerintah dan pengusaha untuk menjamin kelangsungan hidup buruh
Red: Andri Saubani

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Ali Mansur, Arif Satrio Nugroho, Sapto Andika Candra, Antara

Hari Buruh Internasional atau May Day pada 1 Mei 2020 diperingati buruh secara berbeda. Ketua Umum Federasi Serikat Pekerja BUMN Bersatu, Arief Poyuono mengatakan, bahwa tahun ini, merupakan tahun kelam bagi keberlangsungan hidup buruh seiring mewabahnya Covid-19.

"Akibat dampak pandemi Covid-19, miliaran buruh formal dan informal kehilangan pekerjaan dan pendapatannya," ucapnya, Jumat (1/5).

Baca Juga



Jika Hari Buruh setiap tahunnya diperingati dengan aksi buruh turun ke jalan, pada tahun ini, aksi digelar secara virtual. Menurut Presiden KSPI Said Iqbal, kampanye buruh di media sosial untuk menyuarakan tiga isu May Day pada tahun ini. Ketiga isu tersebut adalah, tolak Omnibus Law RUU Cipta Kerja, setop PHK, dan liburkan buruh dengan upah dan tunjangan hari raya (THR) 100 persen.

"KSPI juga akan melakukan pemasangan spanduk di perusahaan dan tempat-tempat strategis terkait dengan tiga isu di atas. Termasuk seruan dan ajakan agar masyarakat bersama-sama memerangi Covid-19,” kata Said.

Kemudian, kata Said, KSPI juga akan melakukan kegiatan penggalangan dana buruh untuk solidaritas pangan dan kesehatan. Di beberapa daerah, tambah Said Iqbal, juga akan dibuka lumbung pangan, dengan mengumpulkan atau menyediakan bahan makanan untuk masyarakat sekitar.

Terkait RUU Cipta Kerja, Said mengapresiasi langkah Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang menunda pembahasan klaster ketenagakerjaan. Namun, dalam peringatan May Day ini KSPI tetap menyuarakan penolakan Omnibus Law.

Buruh menuntut pemerintah dan DPR men-drop klaster ketenagakerjaan dari RUU Cipta Kerja. Setelah itu, lanjut Said, dibuat draf baru klaster ketenagakerjaan yang melibatkan semua pemangku kepentingan.

Buruh juga menyuarakan agar tidak ada PHK pada masa pandemi corona ini. Untuk itu, KSPI mendesak agar pemerintah melakukan langkah sungguh-sungguh untuk mencegah PHK.

“Perusahaan yang melakukan PHK harus diaudit oleh akuntan publik. Untuk melihat apakah benar-benar rugi atau menjadikan alasan pandemi untuk memecat buruh,” tegas Said Iqbal.

Buruh juga menjadi korban wabah Covid-19 lantaran sampai saat ini, masih banyak buruh tetap bekerja. Bahkan, menurut Said, sudah ada buruh yang meninggal akibat terinfeksi virus corona, padahal pabrik tempat buruh bekerja berlokasi di wilayah berstatus PSBB.

Selain KSPI, Federasi Serikat Pekerja Indonesia (FSPI) menjadi salah satu dari sekian banyak Serikat Pekerja yang turut menyuarakan protes tanpa turun ke jalan pada Hari Buruh atau May Day 1 Mei 2020 ini. FSPI juga menyuarakan pencabutan Omnibus Law RUU Cipta Kerja yang selama ini dianggap merugikan buruh.

Ketua Umum FSPI Indra Munaswar mendesak DPR RI menghentikan pembahasan Omnibus Law RUU Cipta Kerja, dan Pemerintah mencabut RUU tersebut. Ia menyebut RUU Cipta Kerja bertentangan dengan UUD 1945.

"Omnibus Law ini sesungguhnya jauh lebih berbahaya daripada Covid-19. Jika RUU ini tetap dipaksakan untuk diundangkan, maka akan menghilangkan atau menghapus penguasaan negara atas tanah dan sumber daya alam Indonesia," kata Indra dalam siaran pers yang diterima Republika.co.id, Jumat (1/5).

Pada sisi ketenagakerjaan, ia menyebut jika RUU ini disahkan, maka rakyat, angkatan kerja dan pekerja akan menjadi budak di negerinya sendiri. Sedangkan bangsa asing (TKA) lebih mudah dan leluasa bekerja di Indonesia.

Indra mengatakan, lelemahan industri barang dan jasa akibat mewabahnya virus Corona membuat keprihatinan yang mendalam bagi dunia industri dan dunia ketenagakerjaan. Menurutnya, terhalangnya bahan baku, produksi dan pemasaran sudah jelas berdampak langsung terhadap pengusaha dan kaum pekerja.

"Sampai hari ini, sudah jutaan pekerja yang dirumahkan maupun yang telah di PHK," kata dia.

Pekerja/buruh Indonesia pun menuntut Menteri Ketenagakerjaan tidak hanya sekadar mengeluarkan anjuran kepada pengusaha, dan menyatakan lepas tangan bagi pengusaha tidak bisa membayar THR. Pekerja/buruh Indonesia mendesak Menteri Ketenagakerjaan untuk secepatnya membentuk Tim Task Force untuk menangani menjamurnya tindakan pengusaha yg telah merumahkan dan mem-PHK pekerja.

"Tim Task Force terdiri dari asosiasi pengusaha, serikat pekerja/serikat buruh, Kementerian Keuangan, BPJamsostek, Kepolisian dan Kejaksaan," kata dja.

Ia menambahkan, Tim Task Force ini juga harus mampu mendeteksi terhadap perusahaan yang justru memanfaatkan wabah Corona ini untuk mem-PHK pekerja tetap sebanyak-banyaknya, tapi kemudian menerima kembali pekerja baru dengan status pekerja kontrak (PKWT).

Tak mampu bayar THR

Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah mengakui, banyak perusahaan yang menyampaikan ketidakmampuannya untuk membayarkan THR kepada karyawan. Namun, ujar Ida, informasi tersebut baru disampaikan kepadanya secara lisan dan tanpa data pendukung.

"Memang banyak sekali yang menyampaikan secara lisan tanpa disertai data, mereka nyatakan ketidakmampuannya, namun dengan harapan pemerintah memberikan relaksasi pembayaran iuran Jamsostek," ujar Ida usai mengikuti rapat terbatas bersama Presiden Jokowi, Kamis (30/4).

Demi menjawab keluhan para pengusaha tersebut, pemerintah pun menyiapkan relaksasi pembayaran iuran jaminan sosial tenaga kerja (Jamsostek) atau BPJS Ketenagakerjaan selama tiga bulan. Pemerintah mencatat, ada 116.705 perusahaan yang mendapat peluang relaksasi iuran Jamsostek.

Tetapi, insentif ini bukan tanpa syarat. Relaksasi iuran Jamsostek hanya diberikan kepada perusahaan yang terbukti masih membayarkan THR kepada karyawan.

"Terkait relaksasi pembayaran iuran Jamsostek, izin prakarsa penyusunan RPP (rancangan peraturan pemerintah) sudah diberikan. Berikutnya kami akan menuntaskan bersama dengan kementerian dan lembaga yang lain," jelas Ida.

Ida menjelaskan, keringanan iuran Jamsostek ini mencakup program jaminan kecelakaan kerja (JKK), jaminan kematian (JKM), dan jaminan pensiun. Diskon akan diberikan untuk iuran JKK dan JKM, sementara penundaan pembayaran akan diberlakukan untuk iuran jaminan pensiun.

Melalui relaksasi iuran Jamsostek ini, maka iuran JKK bagi peserta penerima upah hanya perlu dibayarkan 10 persen dari iuran normal. Angka yang sama juga diberikan bagi peserta bukan penerima upah, dihitung dari penghasilan peserta sesuai PP 44 tahun 2015.

"Bagi pekerja pada perusahaan sektor konstruksi, iuran JKK sebesar 10 persen dari sisa iuran yang belum dibayarkan," katanya.

Selanjutnya untuk iuran JKM bagi peserta penerima upah, besaran yang perlu dibayarkan hanya 10 persen dari iuran norma. Demikian pula bagi peserta bukan penerima upah, iuran JKM sebesar Rp 600 ribu setiap bulan. Bagi perusahaan sektor jasa konstruksi, iuran JKM sebesar 10 persen dari iuran yang belum dibayarkan.

Kemudian, ada pula kebijakan mengenai penundaan pembayaran iuran JP, sehingga yang tetap dibayarkan sejumlah 30 persen dari kewajiban iuran. Dana paling lambat dibayar pada tanggal 15 bulan berikutnya. Sisanya, dapat dibayarkan sekaligus atau bertahap sampai Oktober 2020.

Ida menambahkan, RPP ini juga memuat penyesuaian pembayaran iuran pertama kali mulai April 2020 dan dapat diperpanjang selama tiga bulan.

Data PHK akibat pandemi Covid-19 di DKI Jakarta - (Infografis Republika.co.id)

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler