Anies Ungkap Pelacakan Covid-19 Dimulai Sejak Januari
Anies meyakini jumlah kasus Covid-19 secara keseluruhan lebih tinggi dari data resmi.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta dilaporkan mulai memantau dan melacak kasus-kasus potensial infeksi virus corona jenis baru (Covid-19) sejak Januari lalu. Hal ini mengartikan bahwa upaya dilakukan sebelum Indonesia pertama kali melaporkan kasus positif pada 2 Maret.
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan membantah klaim yang mengatakan bahwa Indonesia meratakan kurva jumlah infeksi. Ia mengatakan bahwa jumlah kasus Covid-19 secara keseluruhan mungkin lebih tinggi dibandingkan angka yang ditunjukkan oleh data resmi pemerintah.
Anies mengkritik respons pemerintah pusat yang dinilai lambat dalam menangani pandemi Covid-19. Langkah yang dilakukan olehnya mirip dengan Gubernur New York Andrew Cuomo. Keduanya berhadapan dengan presiden yang telah bertindak dengan urgensi yang dinilai lebih rendah.
Baik Anies maupun Cuomo telah mendapat pujian atas langkah-langkah yang dilakukan untuk menyelamatkan warga di dua kota padat penduduk yang mereka pimpin masing-masing. Di Jakarta, ibu kota Indonesia, terdapat 10 juta populasi penduduk. Sementara itu, di New York terdapat 8,3 juta penduduk.
Dalam sebuah wawancara dengan Sydney Morning Herald dan the Age pada 6 Januari lalu, Anies mengungkapkan, setelah virus corona jenis baru pertama kalinya ditemukan di Wuhan, Provinsi Hubei, China, pada Desember 2019, Pemprov DKI Jakarta mulai mengadakan pertemuan dengan seluruh rumah sakit di Ibu Kota. Ia mengatakan saat itu memberitahukan tim medis adanya infeksi penyakit dari sebuah virus baru yang masih disebut sebagai pneumonia Wuhan, belum dinamakan secara resmi dengan Covid-19.
Dari sana, nomor hotline dibuat untuk 190 rumah sakit di Jakarta untuk memudahkan agar orang-orang dapat menghubungi kasus yang dicurigai sebagai Covid-19. Anies mengatakan, jumlah kasus yang dicurigai terus memingkat pada Januari dan Februari.
“Dari sana kami segera menetapkan keputusan untuk semua orang di pemerintah provinsi diberikan tugas menangani Covid-19,” ujar Anies saat itu, seperti dilansir SMH, Jumat (8/5).
Namun, Anies mengungkapkan, saat jumlah kasus penyakit yang dicurigai terus meningkat, Pemprov DKI Jakarta tidak diizinkan melakukan pengujian secara langsung. Ia mengatakan, setiap mengirimkan sampel ke lab nasional yang berada di bawah kendali pemerintah pusat, seluruhnya memiliki hasil negatif.
“Pada akhir Februari, kami bertanya-tanya mengapa semuanya negatif,” kata Anies.
Sepanjang Januari hingga Februari, Menteri Kesehatan Terawan Agus berulang kali mengatakan tidak ada kasus positif Covid-19 di Indonesia. Bahkan, terkadang ada sikap optimistis yang cenderung berlebihan, mengatakan bahwa hal ini terjadi karena kekuatan doa.
Namun, Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah mengakui bahwa sempat menahan informasi dari masyarakat untuk menghindari kepanikan. Sementara Indonesia saat ini terus melaporkan jumlah kasus positif Covid-19 yang meningkat, Anies mengatakan bahwa mungkin negara belum melalui fase terburuk dari wabah.
“Saya belum yakin apakah kita akan merata. Kita harus menunggu beberapa minggu ke depan untuk menyimpulkan apakah tren itu sedang merata atau kita masih bergerak naik," kata Anies.
Sebelumnya, pemerintah pusat mengatakan bahwa Indonesia telah melalui fase terburuk dari krisis akibat wabah. Gugus tugas Covid-19 Indonesia juga mengatakan, situasi mungkin akan kembali berjalan norma pada Juni atau Juli mendatang.
Anies mengaku tidak ingin membuat prediksi karena jika melihat data yang ada, tampaknya wabah belum akan segera berakhir. Ia juga menekankan pandangannya berdasarkan perkiraan para ahli epidemiologi. “Ini adalah waktu di mana para pembuat kebijakan perlu memercayai ilmu pengetahuan,” kata Anies.
Anies juga menyinggung tentang kurangnya transparansi pemerintah nasional, secara khusus dari Kementerian Kesehatan. Ia mengatakan bahwa pihaknya melihat transpransi sebagai bentuk dalam memberikan rasa aman. Namun, tidak demikian apa yang dipikirkan oleh Kementerian Kesehatan yang merasakan sebaliknya bahwa transparansi akan membuat kepanikan.
Anies juga memaparkan tentang banyaknya kasus Covid-19 di Jakarta yang sebenarnya, dibandingkan dengan apa yang tercatat dalam data resmi, yaitu 4.770 kasus infeksi dan 414 kematian. Ia mengutip kenaikan tajam dalam jumlah pemakaman, yaitu 4.300 layanan pada pertengahan Maret dan 4.590 pada april.
Anies mengatakan, biasanya terdapat 3.000 pemakaman per bulan di Jakarta. Data terbaru menunjukkan ada lebih dari 1.500 kematian per bulan dari rata-rata. Ia mengatakan kemungkinan terbesar Covid-19 dalam memegang peranan atas kematian ini.
“Kemudian, jika mengatakan 5 hingga 10 persen angka kematian, mungkin di luar sana ada 15 (ribu) hingga 30 ribu infeksi di Jakarta. Kami pikir jumlah kematian dan infeksi jauh lebih tinggi dari apa yang dilaporkan oleh Kementerian Kesehatan,” kata Anies.
Saat ditanya tentang kapasitas pengujian Covid-19 di Jakarta, Anies optimistis Indonesia telah berjuang untuk meningkatkan tes. Ia mengatakan, di Jakarta dalam satu hari 3.086 tes dapat dilakukan dan 23 laboratorium juga disiapkan.
Ketika wabah Covid-19 pertama kali dikonfirmasi di Indonesia, enam dari 190 rumah sakit di Jakarta ditunjuk sebagai rumah sakit rujukan. Terdapat 172 rumah sakit yang sedang menangani kasus infeksi virus corona jenis baru. Anies mengatakan, 1.600 tempat tidur di rumah sakit yang ditunjuk tidak pernah terisi penuh, sementara saat ini hanya 900 unit perawatan intensif (ICU) yang digunakan.
Anies mengatakan, Jokowi seharusnya melarang mudik lebih cepat daripada yang dilakukannya untuk mencegah penyebaran infeksi. Ia memperkirakan bahwa 1,6 juta orang telah meninggalkan Jakarta untuk kunjungan tahunan, turun dari angka 7 juta pada 2019.
Untuk menghentikan gelombang kedua infeksi yang kembali ke Jakarta pada akhir Mei, Anies mengatakan, orang yang ingin kembali ke Ibu Kota setelah melakukan mudik tak akan diizinkan. Dikritik oleh beberapa politikus pemerintah nasional karena dianggap bereaksi berlebihan, Anies mengaku lebih khawatir tentang apa yang akan ditulis sejarawan pada masa depan tentang kebijakan pemerintah selama masa pandemi ini.
"Saya tidak khawatir tentang apa yang dikatakan media sosial tentang kebijakan kami. Saya lebih khawatir tentang apa yang akan ditulis sejarawan di masa depan tentang kebijakan kami,” kata Anies.