Perbankan di ASEAN Hadapi Ancaman Kredit Macet
Virus membuat perbankan sulit membayar utang karena aliran kas terganggu.
REPUBLIKA.CO.ID, SINGAPURA -- Perbankan di sejumlah negara anggota ASEAN sedang mengalami kenaikan tingkat kredit macet (NPL) disebabkan oleh pandemi Covid-19. Penyebaran virus tersebut juga membuat perbankan sulit membayar utang karena aliran kas terganggu.
Bank OCBC yang berbasis di Singapura mengaku laba bersih perusahaan pada kuartal mengalami turun drastis hingga 43 persen secara tahunan menjadi 495 dolar AS. Penurunan ini disebabkan karena memburuknya kondisi ekonomi.
"Saat ini NPL Bank OCBC masih di level 1,5 persen. Di tengah ketidakpastian serta pelemahan ekonomi ini, kami memperkirakan NPL akan naik antara 2,5 persen-3,5 persen," kata CEO OCBC Group Samuel Tsein, dikutip Asia Nikkei, Jumat (8/5).
Lembaga pemeringkat utang seperti Moody pada April lalu mulai menurunkan outlook sejumlah perbankan di Asia Tenggara. Sejak merebaknya Covid-19, negara di kawasan tersebut ramai-ramai menerbitkan obligasi untuk memberikan paket stimulus bagi sektor bisnis.
"Goncangan pasar dan ekonomi yang disebabkan oleh pandemi Covid-19 akan menekan aktivitas bisnis dan meningkatkan risiko aset perbankan," kata Moody dalam sebuah laporan April lalu.
Dana Moneter Internasional (IMF) pada april lalu memproyeksikan lima negara ASEAN dengan ekonomi terbesar (Indonesia, Thailand, Malaysia, Filipina dan Vietnam) akan mengalami kontraksi pertumbuhan sebesar 0,6 persen pada tahun ini. Padahal sebelumnya, pertumbuhan rerata lima negara tersebut diprediksi mencapai 4,8 persen.
Empat bank komersial terbesar di Thailand (Bangkok Bank, Siam Commercial Bank, Krung Thai Bank, dan Kasikornbank) akan menaikkan biaya provisi sebagai persiapan menghadapi kebangkrutan karena disebabkan oleh pandemi Covid-19. Saat ini, tingkat NPL keempat bank tersebut mencapau 3,2 persen-4,4 persen.
Di Indonesia, Moody menurunkan outlook terhadap sistem perbankan menjadi negatif. Hal tersebut didasarkan pada melemahnya permintaan terhadap batu bara dan minyak sawit yang menjadi komoditas ekspor utama Indonesia.
"Risiko aset dari pinjaman yang berkaita dengan komoditas tersebut akan meningkat. Modal asing akan keluar sehingga menekan mata uang rupiah, ini sangat menekan para peminjam," kata Moody. Meski demikian, Moody juga mengatakan perbankan Indonesia memiliki penyangga yang cukup.
Sementara itu, Moody juga menurunkan peringkat untuk Malaysia menjadi outlook negatif. Hal tersebut didasarkan pada menurunnya keuntungan perbankan karena memburuknya kondisi ekonomi.