Black Swan, Ancaman Krisis, dan Jurus OJK

Corona membawa situasi anomali yang disebut 'Teori Black Swan'

Republika/Bowo Pribadi
Praktisi Media, Elba Damhuri saat menyampaikan materi pada diskusi Temu Wartawan, yang digelar oleh Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) di Hotel PO, Semarang, Selasa (17/9). Dalam paparannya, media digital memiliki masa depan cerah dan media cetak tetap memiliki peluang untuk tetap hidup.
Red: Joko Sadewo

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Elba Damhuri*

Siapa yang menyangka dunia saat ini harus menghadapi sebuah pandemi virus corona yang menghantam semua sektor kehidupan. Siapa yang menduga pada 2020 ini akan ada wabah corona yang mengubah banyak kehidupan manusia, berdampak besar terhadap ekonomi dunia dan negara.


Makna ini disampaikan Ketua Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Wimboh Santoso saat membuka video conference OJK dengan tim Redaksi Republika (koran, online, dan media sosial) membahas kondisi terkini sektor keuangan Indonesia pada Senin (11 Mei) sore. "Tak ada yang memprediksi sebelumnya atas keadaan sekarang," kata Wimboh Santoso.

Sebagian orang menyebut situasi saat ini sebagai sebuah anomali. Nassim Nicholas Taleb, seorang mantan trader di Wall Street yang kini menjadi profesor keuangan kenamaan di Amerika, menamainya sebagai Teori Angsa Hitam (Black Swan Theory).

Pada zaman duhulu kala, selama bertahun-tahun, masyarakat Eropa hanya mengenal angsa itu berwarna putih. Anggapan umum berkembang tak ada angsa yang tidak berwarna putih. Tiba-tiba, mereka dikejutkan sangat hebat dengan penemuan adanya angsa hitam di Australia.

Nassim menyebut dalam bukunya 'Black Swan', dalam dunia keuangan dan sejarah manusia, fenomena angsa hitam ini kerap muncul. Ia merupakan sesuatu yang acak dan tidak memberikan kepastian. Dampak yang ditimbulkan pun besar dan meski sebenarnya hal ini bisa dirasionalisasi.

Pandemi virus corona (covid-19) masuk dalam kategori teori angsa hitam. Sebelumnya, ada serangan teroris atas Menara Kembar WTC pada 11 September 2001 dan krisis subprime mortgage yang mengguncang Amerika dan dunia, dan mengubur Goldman Sachs (2008) --salah satu raksasa global bank investasi.

Wabah corona menyebabkan miliaran manusia harus menjaga jarak. Ada pembatasan gerak dan fisik. Hasilnya, ekonomi menjadi terpuruk. Pabrik-pabrik tutup, banyak perusahaan bangkrut, PHK massal di mana-mana, hingga pendapatan individu tergerus.

Industri keuangan baik perbankan maupun non-perbankan termasuk yang kena hantaman dampak wabah corona ini. Bank-bank dan lembaga keuangan non-bank menghadapi ancaman risiko likuiditas atau risiko gagal bayar kewajibannya.

Ini terjadi karena debitur-debitur industri keuangan tidak mampu lagi membayar kewajibannya kepada perbankan. Tentu, ini bisa menjadi sistemik jika tidak ditangani dengan cepat dan out of normal.

Masalah ini yang disampaikan Ketua OJK Wimboh Santoso dalam video conference dengan tim Redaksi Republika. Dalam paparannya, OJK sudah menyiapkan sejumlah langkah untuk menangkal ancaman krisis ekonomi dan keuangan yang berat ini.

Setidaknya, ada empat jurus yang disampaikan Ketua OJK Wimboh Santoso untuk menjawab situasi abnormal saat ini. OJK juga menegaskan kondisi industri keuangan yang masih menunjukkan kinerja di atas rata-rata ketentuan.

Keempat jurus itu meliputi skenario penyelamatan dunia usaha dan sektor riil (UMKM) dan industri, penguatan industri keuangan dengan guyuran likuiditas, pembentukan bank jangkar (anchor bank), dan kebijakan kawin (merger) industri keuangan.

Pertama, OJK membuat kebijakan keringanan pembayaran cicilan kredit dan bunga untuk bisnis termasuk UMKM. Dengan sejumlah syarat ketat, UMKM dan perusahaan bisa mengajukan keringanan pembayaran cicilan ini kepada bank-bank tempat mereka pinjam.

Wimboh mengatakan tercatat sebanyak 3,88 juta debitur perbankan sudah mendapatkan restrukturisasi kredit ini. Angka ini setara dengan nilai total sebesar Rp 336,97 triliun hingga 10 Mei 2020.

Kebijakan restrukturisasi kredit ini selain membantu UMKM, juga bagi perbankan akan mengurangi tekanan risiko kredit bermasalah (NPL). OJK yakin risiko kredit macet tidak akan menggoyahkan kinerja perbankan.

Sebagian besar restrukturisasi kredit diberikan kepada debitur UMKM sebanyak 3,42 juta debitur. Adapun total nilai debet kredit UMKM mencapai Rp 16,7 triliun.

Kedua, OJK dan pemerintah memberikan bantuan likuiditas kepada perbankan dan lembaga keuangan non-bank. Suntikan uang ini sangat penting mengingat perbankan menghadapi risiko likuiditas ketika restrukturisasi dan pemberian subsidi bunga kredit berjalan.

Ketiga, untuk melancarkan suntikan dana ini, OJK membentuk bank jangkar atau bank penyangga. Tugas mereka sebagai perantara untuk menyalurkan likuditas ke bank-bank lain yang membutuhkan dengan berbagai syarat ketat.

OJK akan menunjuk beberapa bank BUMN atau Himpunan Bank-Bank Milik Negara (Himbara) dan bank swasta untuk menjadi bank penyangga likuiditas ini.

Bank jangkar ini akan menjadi pemasok utama di Pasar Utang Antar Bank (PUAB). Teknisnya, bank jangkar ini akan mendapat likuiditas dari hasil penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) pemerintah yang dibeli oleh Bank Indonesia (BI).

Wimboh mengatakan dengan fungsinya sebagai penyalur kredit, maka tanggung jawab tetap ada di bank yang akan menyelesaikan kredit yang direstrukturisasi itu. Bank jangkar ini dapat keuntungan dari selisih bunga yang memang rendah.

Wimboh memastikan penunjukan bank dari Himbara sebagai bank penyangga likuiditas tidak akan menimbulkan risiko pergerakan saham BUMN. Bahkan, otoritas menyebut, kebijakan ini merupakan bisnis normal dalam industri jasa keuangan.

Keempat, kawin paksa atas bank-bank bermasalah alias sakit akan dilakukan OJK. Pilihannya memang berat: kawin (merger) atau mati (tutup).

OJK pun menerbitkan Peraturan OJK (POJK) No 18/POJK.03/2020 tentang Perintah Tertulis untuk Penanganan Permasalahan Bank. Aturan ini menginstrusikan perbankan bisa melakukan maupun menerima penggabungan, peleburan, pengambilalihan, atau integrasi bila ada ancaman pelemahan akibat pandemi virus corona.

Aturan ini berlaku untuk Bank Umum Konvensional (BUK), Bank Umum Syariah (BUS), Bank Perkreditan Rakyat (BPR), Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS), dan kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri.

Adapun penggabungan, peleburan, pengambilalihan, atau integrasi bisa dilakukan jika OJK memberikan perintah tertulis. Perintah tertulis itu diberikan kepada bank yang memenuhi kriteria berdasarkan penelitian OJK.

Wimboh Santoso menjelaskan dalam kondisi normal, setidaknya OJK perlu waktu selama 9 bulan untuk melakukan pengawasan secara intensif bagi bank bermasalah dan pemegang saham memiliki waktu untuk mencari investor baru.

Namun, dalam keadaan darurat saat COVID-19, di mana bank membutuhkan likuiditas dengan cepat, maka waktu tak lagi masalah.

Apakah jurus-jurus OJK ini efektif untuk mengadang ancaman krisis keuangan yang lebih berat? Biar waktu yang menjawabnya. Dan teori angsa hitam, dia akan terus menghantui masa depan kita.

*) Penulis adalah Managing Editor Republika.co.id/Alumni Global Political Economy Newcastle University

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Berita Terpopuler